Jumat, 16 Mei 2008

TENTANG TULISAN SAYA

Mengomentari tulisan sendiri?

Ok, ini adalah review saya tentang tulisan saya. Ada yang pengemasan masalahnya belum fokus, loncat sana loncat sini. Ada yang idenya biasa saja, tapi penyajiannya cukup menyentuh, misal cerpen ‘Purnama di ujung Senja’. Atau ada yang temanya agak basi dan penggarapannya pun kurang maksimal, -lagi-lagi- belum fokus, jalinan ceritanya terlalu melebar kemana-mana, misal cerpen “Kiara” atau tema yang ingin disampaikan masih samara-samar dan konflik kurang tajam, serasa penulis ingin berdiri di tengah-tengah, misal pada cerpen “Bicaralah Cinta’

Duh…membaca tulisan saya di awal-awal saya belajar menulis…hahaha… saya sering tersenyum sendiri… kok ya itu lho, ceritanya hampir semua kok sedih-sedih banget ya…! Apakah itu karena saya telah banyak mengalami ha-hal menyedihkan di sepanjang masa kecil saya, di setiap rentang hidup saya? Sudah pasti jawabnya adalah tidak! Saya cukup menikmati dan banyak kisah menyenangkan yang warnai hari-hari saya di masa kecil. Ada seorang sahabat yang mengatakan, bahwa bila menemui suatu musibah (kalau kita menganggap itu sebuah musibah lho…), maka rumusnya adalah H2N..(wah..wah…pakai rumus segala). Apa H2N itu? Hadapi, Hayati dan Nikmati… ceiye…begitu to!

Ok, friends….
Kisah “Purnama di Ujung Senja” bagi saya emang cukup menyentuh…. Intinya, kita tidak boleh menyerah pada kerasnya kehidupan. Semoga pembaca bisa mengambil hikmah dari kisah tersebut. Pengalaman pribadi? Hahaha….tak ada seorang penulis pun yang tak menyelipkan pandangan hidupnya dalam setiap tulisannya…. (eh, itu kata teman di FLP loh…)

Kalau “Huiny”…. Wah…kisah itu terjadi mengalir saja… entah kenapa tiba-tiba jari jemari saya lincah menari (tepatnya mungkin bukan menari, tapi meloncat-loncat… wong saya ngetik pakai sebelas jari, dulu gak lulus waktu pelajaran ngetik di sma…) di atas keyboard….

Tapi, dengan segala kerendahan hati, ijinkan saya mohon maaf yang sebesar-besarnya ya… seandainya ada pembaca yang merasa hatinya ‘teraniaya’ setelah membaca kisah “Huiny” ….suer deh friends, just a story…tidak bermaksud untuk menyinggung satu pribadipun…punten ye… I’m so sorry…
Eit…tapi kayaknya kisah Huiny masih panjang loh…celakanya saya sekarang benar-benar kesulitan mencari celah waktu untuk menyelesaikan kisah tersebut…(habis belum ada yang request sih…hehehe…)

Ok, saya ada PR menyelesaikan novel HUINY serta beberapa cerpen yang idenya masih berloncatan di tempurung kepala saya…..
Terima kasih buat yang telah membaca dan mengomentari atau memberi masukan coretan saya…
Salam sayang

MERAPIKAN BLOG

BLOG yang sungguh sederhana ini ingin aku rapikan, duh siapa yang bisa membantu ya?
Aku ingin kelompokkan dalam beberapa divisi :
1. Coretan Hati
2. Fiksi/cerpen
3. Resep Kue dan masakan
4. Artikel Kesehatan
5. Artikel pembangun jiwa
6. Seputar gigi
7. Aneka Ketrampilan
8.Tanaman/bunga kesayangan

apalagi ya?

PUKIS

Bahan :
4 butir telor ayam
300 gram gula pasir
1 bungkus fermipan dicampur dengan
500 gram terigu
600 ml susu cair (boleh diganti dengan santan atau air sari buah kalau suka)
250 gram mentega dicairkan

Cara Membuat :
1. Telor dan gula dikocok sampai mengembang atau sampai gula larut.
2. Masukkan terigu yang sudah dicampur dengan fermipan bergantian dengan susu cair dan mikser dengan kecepatan rendah.
3. Tuang mentega cair dan aduk dengan spatula.
4. Adonan ditutup serbet bersih dan diamkan 1/2 hingga 1 jam hingga mengembang
5. Siapkan cetakan pukis dan oles dengan mentega
6. Setelah panas, masukkan adona setinggi 3/4 cetakan.
7. Tutup dan masak dengan api kecil

Catatan :
Hm...nikmat dan lezat...!!
Bahannya alami dan cara masaknya pun gampang. Kalau lagi masak jangan ditinggal ya, karena kue pukis ini akan sangat cepat matang...
kalau lagi masak kue pukis ini, aku pasti ingat dengan Mbak Dyah dan Peni.. teman tersayang yang sudah menurunkan resep ini...jadi kangen nih, apa kabar Friends?

BOLU KUKUS

Bahan :
3 butir telor ayam
1/2 sdm TBM
300 gram gula pasir
300 gram terigu
150 air soda (misal : sprit)
(catatan : air soda bisa diganti dengan sari buah, santan atau susu)
coklat, meisis, atau parutan wortel untuk variasi

Cara Membuat:
1. Telor, gula dan TBM dikocok sampai mengembang
2. Masukkan terigu sedikit demi sedikit (sambil diayak lebih bagus) bergantian dengan air soda, lalu mikser dengan kecepatan rendah
3. Panaskan kukusan dan lapisi bagian tutupnya dengan serbet/kain
4. Taruh kertas bolu kukus di atas cetakan bolu
5. Tuang adonan sebanyak 3/4 dan kukus sampai matang

Catatan :
Resep bolu kukus yang yummy dan sederhana ini adalah resep favorit anak-anak mengisi liburan. Mas Azzam akan mengisi bolu kukusnya dengan selai blackberry atau strowberry, sedang Dik Amil biasanya lebih suka mengisi bolu kukusnya dengan....yap, apalagi kalau bukan coklat...!
kalau Umi senang mencampur adonan bolu dengan parutan wortel dicampur serbuk nutrisari. Maksudnya sih supaya anak-anak mau makan sayur...:)
Ok, foto2 akan menyusul ya...!

MENJADI PENULIS

Kutatap layar monitor dengan gamang. Entah ini sudah tulisan keberapa yang tak mampu kuselesaikan dengan baik. Kadang aku berhenti begitu menulis judul. Kadang sudah dapat setengah cerita, namun bingung akan kubawa kemana nasib sang tokoh. Aku selalu tak dapat menyelesaikan setiap tulisanku. Aku tak tahu. Apakah setiap cerita harus berakhir bahagia? Atau berakhir tragis seperti kisah Romeo Juliet? Atau dibuat menggantung, biarlah pembaca akan mencari penyelesaian sendiri? Entahlah.

Sejak kecil aku memang bercita-cita menjadi seorang penulis. Aku ingat, sejak kecil aku suka menulis dan rajin mengirimkan hasil tulisanku ke media anak-anak. Saat kelas 2 SMP tulisanku yang berupa cerpen dimuat majalah lokal berbahasa daerah. Saat itu aku memakai nama pena Seliara. Aku mendapat honor menulis sebesar Rp.7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah). Sebuah jumlah yang besar bagiku saat itu, uang sakuku selama sebulan, termasuk untuk membayar SPP dan jajan. Aku masih ingat, saat itu bapak memberi kami -aku dan kakakku- masing-masing uang sebesar Rp.7.500,- selama satu bulan. Setiap akhir bulan kami melaporkan penggunaan uang itu dalam bentuk laporan buku kas stafel. Waktu SMP kami mendapat mata pelajaran Pembukuan. Entah anak-anak SMP sekarang masih dapat mata pelajaran itu atau sudah tidak lagi.

Kembali pada minatku menulis, entah kenapa, sejak SMA aku jarang menulis. Mungkin karena pelajaran SMA cukup sulit. Di samping aku juga harus menyesuaikan diri dengan lingkungan baru yang kurasa tidak mudah. Selain itu aku juga sedang senang-senangnya mengikuti berbagai kegiatan ekstrakurikuler yang diadakan pihak sekolah. Pendek kata, aku tengah menikmati masa SMA dan senang berkawan dengan banyak orang. Sebenarnya, aslinya aku pendiam. Entah kenapa SMA aku punya banyak teman. Mungkin karena teman-temanku orangnya ceplas-ceplos dan rame, jadi aku tinggal mendengarkan saja mereka bercerita.

Lepas dari SMA aku kuliah. Wah, kesibukan sebagai mahasiswa baru kembali menyita waktuku. Aku tak pernah lagi menulis. Ah, mungkin ini hanya alasan. Tapi sungguh, aku tak punya waktu luang banyak. Aku lebih suka menghabiskan waktu dengan berlatih bela diri, mendirikan teater muslimah, nasyid muslimah dan lain-lain. Tentu saja semua itu cukup menguras energi. Selain aku harus bekerja sampingan mencari rizki buat kelangsungan kuliahku. Pendek kata, saat kuliah aku benar-benar tidak kepikiran untuk menulis.

Saat-saat terakhir menjelang kelulusan, aku dipercaya oleh fakultas untuk mengelola majalah kampus yang oplahnya tersebar ke seluruh pelosok Indonesia. Maklum, majalah yang kami kelola adalah majalah persatuan senat fakultas seIndonesia. Saat itu keinginan menulisku muncul, lebih tepatnya mungkin karena dipaksa keadaan. Mulailah aku membuat beberapa tulisan dan artikel. Majalah kami bisa dibilang cukup sukses. Meskipun dalam mengerjakan kami harus pontang-panting dikejar deadline. Selain minimnya kiriman naskah yang masuk ke meja redaksi, jadi kami harus aktif membuat tulisan sendiri.

Sebenarnya aku merasakan kebahagiaan dalam menulis. Aku lebih senang menulis sesuatu yang berisi motivasi dan keoptimisan. Aku senang bila tulisanku bisa memacu semangat pembaca (lebih tepatnya untuk memberi semangat aku sendiri sebagai penulis). Karena membaca tulisanku yang dimuat di majalah, ada beberapa adik kelas yang menjadikan aku sebagai tempat curhat.

Setelah selesai mengurus majalah –begitu yang kebagian menjadi sekjen pindah ke universitas lain, sesuai aturan dibuat bergiliran selama 2 tahun- keinginanku menulis hilang dengan sendirinya, seiring dengan berjalannya waktu. Ada beberapa alasan valid dan masuk akal yang bisa kuajukan. Kesibukan hamil dan melahirkan, mengurus anak-anak yang masih kecil, banyaknya masalah keluarga yang datang silih berganti sampai kesibukan praktek yang sungguh menyita hampir semua waktuku. Menyisakan penat dan letih yang mesti segera kupulihkan.

Dan kini, setelah anak-anak besar, praktek yang sudah mapan, fasilitas yang lengkap tersedia –terdiri dari 2 lap top dan sebuah computer PC dan fasilitas internet 24 jam sehari- apalagi alasan yang bisa kukatakan untuk tidak menulis?

Mungkin bukan karena waktu yang sempit, atau fasilitas yang super minim. Aku ingat saat SMP aku mengetik tulisanku menggunakan mesin ketik. Dan saat itu aku hanya berlangganan 2 majalah. Tapi kini, fasilitas sudah jauh memadai. Ada computer, jaringan internet yang on line 24 jam –sehingga aku tak perlu susah-susah ke kantor pos, tinggal dikirim via email- dan setidaknya saat ini aku berlangganan 6 buah majalah sekaligus satu koran nasional (katanya kalau ingin jadi penulis harus banyak membaca), kenapa jua sulit bagiku untuk menghasilkan tulisan yang bermutu?

Katanya ingin berdakwah lewat tulisan? Katanya kalau sudah tidak praktek ingin jadi menulis? Katanya ingin mengisi masa tua dengan menjadi penulis? Mana? Mana?

Aku selalu bilang bahwa umur kita mungkin hanya sampai 60 tahun, namun jika kita menulis dan menghasilkan karya yang bagus dan bermanfaat, umur kita akan jauh lebih panjang dari umur hidup kita. Shakespeare memang sudah lama meninggal, namun karyanya tetap hidup hingga kini, dan mengisi hati orang-orang yang menikmati karyanya, seolah-olah mereka merasa kenal dan dekat dengan sang pujangga besar itu.

Aku pernah membaca artikel di sebuah majalah, katanya, seseorang bisa menjadi penulis terkenal bukan karena bakat, namun latihan dan proses pembelajaran yang gigih dan tak kenal lelah. Latihan yang terus menerus, sambil memperbaiki teknik menulis dan menambah wawasan dengan banyak membaca bacaan bermutu. Itu mungkin yang saat ini belum ada padaku. Aku katakan belum, karena aku berharap suatu saat nanti aku akan memilikinya.

Aku ingat perkataan seorang da'i yang cukup kondang, jika ingin membuat suatu perubahan ke arah kebaikan, lakukan 3 M, mulailah dari yang kecil, mulailah dari diri sendiri, dan mulailah dari sekarang. Ya, mungkin ada benarnya. Jadi, tunggu apa lagi? Ayo, menulislah mulai sekarang....

SAYA TAKUT DOKTER

Pasien itu memasuki ruang praktek saya dengan muka tertunduk. Sebelah tangannya menutup pipi kirinya yang dibalut dengan sapu tangan warna putih.

Saya tersenyum untuk mencairkan ketakutan yang jelas tampak di wajahnya. Entah takut, entah menahan rasa sakit yang amat. Yang pasti, dia bukan pasien pertama yang datang kepada saya dengan mimik muka demikian.

“Ada yang bisa saya bantu, Bu?” tanya saya berusaha seramah mungkin.

“Gigi saya sakit sekali Dokter…” jawabnya lirih.

“Mulai kapan, Bu?”

“Sebenarnya sudah lama Dokter, tapi saya takut datang ke dokter gigi. Sekarang saya sudah tidak dapat menahan sakit lagi dok, jadi saya beranikan diri datang ke sini…”

Saya tersenyum lagi, menghargai ketakutannya yang sungguh manusiawi itu sekaligus kagum karena akhirnya ia bisa mengalahkan rasa takut itu dan hari ini ia bisa duduk manis di kursi periksa saya. “Tidak perlu takut Bu, Insya Allah sekarang perkembangan ilmu kedokteran sudah maju. Mudah-mudahan nanti Ibu tidak merasa takut lagi…”

“Tapi pelan-pelan saja ya Dok…”

Saya mengangguk dan tersenyum. “Saya akan coba memeriksa gigi Ibu pelan-pelan. Ibu boleh pegang cermin dan melihatnya. Kalau ada yang sakit, silakan beritahu saya…”

Kata-kata itu entah sudah berapa kali saya ucapkan, dan saya selalu mengulanginya lagi tanpa sadar. Saya, amat maklum dengan ketakutan ibu tadi. Ketakutan ibu tadi adalah sebenarnya ketakutan saya juga. Sebagai dokter, sebenarnya saya takut ‘menyakiti’ pasien saya. Saya terbiasa mengucapkan kata ‘maaf’ kalau akan memulai tindakan, misalnya mengebor, menyuntik atau mencabut gigi pasien. Ada beberapa pasien saya yang geli dan membalas ucapan saya dengan ‘ya Dok, sudah saya maafkan’

Wah, mungkin saya terlalu berlebihan… tapi sesungguhnya saya punya rahasia kecil yang belum sempat saya bagi dengan pasien saya…. (sengaja kali…)
Sebenarnya, saya pun punya ketakutan yang sama bila harus berhadapan dengan dokter gigi. Saya begitu selektif memilih dokter yang saya percaya akan merawat gigi saya
(ssst… dokter gigi juga harus rajin merawat gigi ke dokter juga lho…).

JEJAK KECIL KEHIDUPAN

Sahabat… (seperti acara tv surat sahabat ya!)
Apa yang akan saya tulis di sini adalah sepenggal kisah hidup saya yang mungkin tak terlalu istimewa. Saya adalah seorang ibu rumah tangga dengan dua anak laki-laki. Kehidupan mengajarkan kepada saya untuk selalu mensyukuri apa-apa yang telah Allah berikan. Hal itulah yang mendorong saya untuk lebih banyak instropeksi, bersyukur sekaligus bersabar, karena setiap rentang hidup sesungguhnya adalah ujian. Hanya yang berhasil melewati ujian dengan keimananlah yang akan meraih derajat taqwa, mimpi terbesar saya selama ini….

MASA KECIL SAYA
Saya lahir di sebuah desa kecil yang tak tercantum di peta, namun –tentu saja- akan selalu tersimpan di hati saya, karena di desa itulah saya melewati masa kecil yang indah. Masa-masa yang selalu saja penuh dengan kenangan. Bapak adalah seorang petani dan ibu adalah seorang ibu rumah tangga yang membantu bapak mengelola sebuah usaha penggilingan padi.

Masa kecil saja penuh dengan kenangan bermain, sore-sore berjalan-jalan di sawah (sekedar mencari buah ‘ceplukan’ atau memetik sayur untuk dimasak keesokan harinya). Berjalan melewati pematang sawah, memandang bulir padi yang kuning keemasan atau melihat petani memanen kacang tanah dan jagung. Naik di atas genteng rumah dan memandangi matahari tenggelam adalah kegiatan sore yang tak pernah ketinggalan kami lakukan. Ah…… masa-masa itu adalah masa yang indah dalam hidup saya. Seperti kebanyakan orang tua, Bapak dan Ibu membiarkan masa kecil saya penuh dengan permainan. Karena orang tua banyak menghabiskan waktu mengurus usahanya,maka saya dan saudara-saudara saya lebih banyak di rumah bersama nenek dan pembantu. Meskipun saat itu saya masih kecil, tapi saya paham bahwa kedua orang tua saya bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan kami, lima orang anak yang waktu itu masih kecil-kecil. Meski seharian sibuk mencari nafkah, bila malam tiba, bapak dan ibu masih sempat menemani kami belajar dan membantu mengerjakan PR. Bapak juga selalu siap mengantar jemput bila saya ingin belajar kelompok di rumah teman. Tak heran, waktu kecil prestasi akademik saya boleh dibilang cukup lumayan, saat itu saya hanya berpikir ingin memberikan yang terbaik bagi orang tua.

HARI SAYA KEHILANGAN CINTA
Ternyata kebahagiaan memang tak selalu menyertai kehidupan manusia. Demikian juga dengan saya. Di bawah ini adalah hari di mana saya merasakan langit seakan runtuh, kala saya merasa begitu rapuh, saat orang-orang terkasih itu pergi dari hidup saya secara tiba-tiba. Di saat saya merasa belum siap untuk ditinggalkan.

Selasa, 4-4-1984
Hari di mana ibu yang amat saya cintai pergi untuk selama-lamanya. Sampai kini, saya masih selalu merindukannya

Kamis, 29 Sya’ban (2 hari sebelum 1 Ramadhan) 1994
Hari dimana bapak yang telah berjuang untuk kebahagiaan saya menghembuskan nafas terakhir. Saya sedih karena belum sempat membahagiakan beliau di masa hidupnya

Suatu hari di tahun1991
Hari dimana seorang nenek yang kehadirannya selalu menyertai masa kecil saya, berpulang ke haribaan-Nya

Suatu hari di tahun1994
Hari dimana akhirnya saya sadar, seorang sahabat terdekat saya tak akan pernah kembali lagi

Suatu hari di tahun 2000
Hari dimana kakek dari ayah saya meninggal dunia. Saya hanya bisa menangis sedih di sudut kamar, karena saat itu saya sedang hamil muda anak kedua. Saya tidak bisa pergi untuk menghadiri pemakamannya, sekaligus memberikan penghormatan terakhir untuk beliau. Karena jarak yang begitu jauh tak kuasa saya tempuh

Suatu hari di bulan Maret 2007
Hari dimana nenek dari ayah saya meninggal dunia. Waktu kabar itu saya terima, saya sedang di klinik. Saya langsung mencari penerbangan tercepat yang bisa saya dapat. Esoknya saya berangkat dengan anak bungsu saya, karena tinggal 2 seat yang kosong. Meskipun akhirnya saya tak dapat melihat pemakamannya, tapi saya tetap bersyukur dapat hadir dan memberi penghormatan pada sosok yang telah ikut memberi warna masa kecil saya…

PERKENALAN SAYA DENGAN ISLAM
Kesibukan orang tua atau mungkin karena faktor ketidakpahaman, membuat masa kecil saya kurang bersentuhan dengan Islam. Saya tidak menyalahkan orang tua karena hal ini. Orang tua saya meskipun pada saat itu belum paham Islam, namun telah mengajarkan kami - anak-anaknya - nilai-nilai yang Islami.

Perkenalan saya dengan kajian keislaman diawali saat kegiatan mentoring di SMA 2 Madiun. Saat itu saya masih ingat, pemberi materinya adalah ikhwan (mungkin karena belum ada akhwatnya). Saat itulah saya bersentuhan dengan kajian dan jilbab, bila kajian kami mengenakan jilbab, tapi saat biasa jilbab itu dilepas. Pun ketika kesadaran mengenakan jilbab mulai timbul di hati, mungkin karena keimanan yang begitu sedikit, bila berangkat sekolah kami memakai jilbab dan di sekolah dilepas. Masih sistem bongkar pasang karena pada saat itu jilbab belum boleh dipakai di lingkungan sekolah. Yang ngotot mengenakan jilbab dipersilakan memilih sekolah yang lain. Sebuah bahasa halus untuk mengusir jilbaber. Saat itu sekitar tahun 1990-an saya masih kelas 2 SMA. Sebagian besar dari kami memilih bertahan, karena kami ingin berjuang di SMA ini, sekolah yang cukup bonafid di Madiun. Alhamdulillah… akhirnya keluar SK yang memperkenankan pemakaian jilbab di sekolah. Saat SK itu keluar, saya sudah kuliah di Surabaya.

TETAP SEMANGAT MESKI SUDAH YATIM PIATU
Saya adalah anak yatim piatu, saya bersyukur status itu tak sampai membuat saya berkecil hati. Ibu meninggal saat saya kelas 5 SD. Bapak menyusul saat saya duduk di semester 2. Saat itu saya diterima di FKG Unair… saya masih ingat, mata bapak berkaca-kaca saat membaca pengumuman hasil UMPTN di sebuah media nasional. Bapak terisak bahagia, ada rasa bangga karena anaknya diterima di Fakultas Kedokteran Gigi… Meski Bapak tak pernah melihat saya memakai jas putih saat praktikum di klinik, meski Bapak tak pernah bisa menghadiri acara wisuda saya, pun ketika saya diambil sumpah sebagai dokter gigi… Ketika tiba hari kelulusan saya…
Mungkin dari atas sana Bapak dan juga Ibu bisa melihat kehidupan saya kini…
Tapi saya tahu…ada satu hal yang dibutuhkan kedua orang tua, doa anak yang sholehah…hanya itu yang dibutuhkan Bapak kini ….
Kini, memang hanya ada satu harapan saya, saya sungguh ingin menjadi anak yang sholehah, yang setia mendoakan kedua orang tua saya, semoga Allah berkenan mengampuni dosa-dosa kedua orang tua saya dan memberikan sebuah tempat yang layak di sisi-Nya. Amin.

SAAT-SAAT PERJUANGAN
Kuliah di kedokteran gigi, hidup di perantauan, sudah tidak ada orang tua… duh…sepertinya berat banget…dan memang, itulah yang saya rasakan. Jika bukan karena belas kasih Allah, jika bukan kesabaran dan ketegaran yang kadang meski dipaksakan…entahlah… yang pasti saya bersyukur karena pada saat itu saya dikelilingi oleh teman-teman yang mencintai dan mendukung saya. Saya bersyukur karena saat itu interaksi saya dengan Islam cukup dekat, saya melihat masih banyak teman yang keadaannya jauh lebih berat dari saya.

Dalam kondisi yang serba sulit itu, kami berlima (kakak dan adik, saudara kandung saya) saling menguatkan, saling menasehati dan saling berbagi. Dua kakak saya kuliah di PTN di kota Malang, saya di Unair Surabaya, adik saya di sebuah PTN di Malang dan adik terkecil waktu itu masih kelas 1 di SMA 2 Madiun. Bersyukur karena kami semua dapat kuliah di PTN, jadi tidak begitu banyak menelan biaya. Kuliah di PTN adalah salah satu cita-cita bapak yang mampu kami wujudkan…Saat itu saya melakukan apa saja untuk tetap bisa kuliah, saya bertekad saya harus bisa lulus, meskipun saya harus bekerja sambil kuliah… Meskipun itu berarti waktu belajar dan waktu istirahat saya harus lebih banyak berkurang…
Saya masih ingat, saat itu saya hanya berpikir, saya harus melakukan sesuatu untuk menghasilkan uang. Apa saja yang mampu saya kerjakan. Diantaranya saya berjualan kacang telor, saya menggoreng dan membungkusi sendiri, saya taruh di meja dan di sebelahnya saya taruh kaleng kecil. Tak berapa lama kacang dalam toples akan habis dan kaleng kecil itu akan terisi lembar demi lembar rupiah, dan demikian seterusnya. Saya buang jauh-jauh rasa gengsi dan malu… saya hanya berpikir bagaimana mencari rizki halal untuk tetap bertahan…

Saya juga pernah menjadi loper majalah Ummi dan Annida. Alhamdulillah, saat itu pelanggan saya cukup banyak, mereka adalah teman-teman kampus. Selain itu, profesi sebagai perancang dan penjahit baju muslim juga saya lakoni. Saya membeli kain, mendesain dan menjahit sendiri baju-baju muslim… kebetulan saat itu belum banyak saingan konveksi seperti sekarang…
Baju-baju muslim yang sudah saya jahit itu lalu saya titipkan di Bursa Kafilah, sebuah toko yang terletak di sebelah masjid kampus. Saya sadar, saya tidak punya keahlian menjual langsung ke konsumen. Biasanya dalam rentang waktu sebulan, baju-baju yang saya jahit itu sudah habis dan saya tinggal mengambil uangnya. Lalu sebagian uang itu akan saya belanjakan kain lagi di Pasar Pucang, sebagian uang saya gunakan untuk biaya hidup…demikian seterusnya waktu bergulir dalam kehidupan saya…

Oya, saat itu saya juga memberi les privat, mengajar di TPA dan aktif di SKI dan senat… saya bahkan masih sempat membentuk sebuah grup nasyid muslimah dan teater muslimah bersama dengan teman-teman dari ITS dan IKIP Surabaya… kalau saya pikir sekarang…dengan segala keterbatasan saya saat itu, baik terbatas dari segi manapun (ekonomi, fasilitas dan sebagainya), saya masih bisa lalui…hanya ada satu kekuatan yang tak henti membimbing saya, tanpa campur tangan Allah… mustahil saya bisa lalui semuanya…

Hanya sedikit teman yang tahu keadaan saya yang sesungguhnya. Di luar, saya dikenal sebagai teman yang ramai dan selalu tersenyum. Saya tak pernah bermaksud menyembunyikan kesedihan dan perjuangan saya, namun sebuah ayat yang saya baca suatu malam, saat kesedihan itu datang, cukup menguatkan langkah saya…
Saya lupa persisnya, ….berikut adalah sedikit cuplikan kata-kata yang mampu menguatkan langkah saya, yang mampu memberi energi, bila rasa lelah, penat, letih, capek, sedih dan entah apa namanya itu datang menyerang…
….yaitu orang-orang yang menjaga dirinya dari meminta-minta meskipun sebenarnya ia membutuhkan…kalimat itu saya temukan dalam Al Quran, saya lupa persisnya mana karena saya cari kembali belum ketemu.
Rizki Allah tersimpan di antara tetesan keringat kita…
Ada kemauan pasti ada jalan…
Dan sebuah puisi dari Jalaludin Rumi,
Bila engkau merasa semua jalan sudah buntu
Yakinlah Allah akan menunjukkan jalan tersembunyi
Yang belum pernah dilihat oleh siapapun…
‘jalan tersembunyi”…yap! Saya selalu percaya selalu ada jalan tersembunyi…

ALLAH MEMBERI SAYA TEMAN BERJUANG
Tahun 2006 Allah memberi saya teman berjuang. Dua belas tahun yang lalu, ketika beliau datang kepada saya, beliau adalah seorang pemuda sederhana dengan sebuah tekad dan cita-cita. Seorang lulusan D3 STAN, pegawai negeri dalam level yang masih pemula. Sementara saya adalah seorang yatim piatu dan masih berstatus mahasiswa. Bisa dibilang, kami berdua saat itu memang masih belum apa-apa. Hanya sebuah tekad, sebuah cita-cita bahwa kami berdua ingin bersinergi, bekerja bersama-sama, meniti jalan yang telah kami pilih berdua. Jalan dakwah. Jalan yang penuh dengan duri, yang menanjak dan penuh lubang di sana sini. Bukan jalan mulus yang bertabur bunga.

KEHIDUPAN SAYA KINI
Alhamdulillah, kini saya menikmati kesibukan membesarkan anak, mengantar jemput sekolah, serta mengantar les-les. Sejak awal memang suami melarang saya bekerja di luar rumah. Mungkin beliau khawatir dengan pengasuhan anak-anak kalau saya bekerja. Alhamdulillah, kini saya bisa praktek malam hari, sehingga pengasuhan anak masih tetap bisa saya tangani. Sementara kini suami ingin meneruskan pendidikannya ke jenjang S3 (semoga Allah memberikan yang terbaik –amin- karena suami memang senang sekali menuntut ilmu). Sementara saya cukup melipat cita-cita saya mengajar (menjadi dosen di FKG), dulu saya pernah bercita-cita untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang spesialis, tapi setelah mempunyai anak dan membuka praktek di dua klinik, waktu saya benar-benar sudah tak tersisa lagi. Saya tidak menyesal dengan semua itu. Hidup adalah memilih. Saya sadar. Setiap pilihan haruslah dipertimbangkan masak-masak, karena selalu ada konsekuensi di balik setiap pilihan kita. Saya tidak ingin menyesal dan mengeluh dengan apa yang sudah menjadi pilihan saya.

Satu hal yang saya akan terus belajar dan belajar adalah tawazun, seimbang, semua mendapatkan haknya. Terus terang saya sering kesulitan membagi waktu. Saya ingin ngaji berjalan lancar, pun mutaba’ah harian bisa semua terlaksanakan, anak-anak terjamin, memastikan mereka hari itu makan makanan bergizi, bersekolah dan les dengan baik, pr dan tugas tak ada yang terlupakan, rumah selalu bersih dan rapi, klinik berjalan lancar, saya bisa membaca buku atau menyelesaikan tulisan di komputer (saya punya obsesi menerbitkan sebuah buku –kini masih dalam proses, mohon doanya ya-, kini ada satu cerpen saya yang akhirnya dimuat sebuah majalah wanita, Alhamdulillah). Kenyataannya saya masih sering terteter, memang harus ada beberapa hal harus didelegasikan, namun kalau ‘sang delegator’ berhalangan, mau tidak mau, saya harus siap meng-handle semuanya. Kalau sudah demikian, saya baru benar-benar bisa memaknai, ternyata ‘kewajiban kita memang jauh lebih banyak dari waktu yang kita punya’

Kini saya sedang belajar mengisi kajian ibu-ibu. Bukan karena saya merasa sudah pintar ilmu agama, saya justru nekat dan sebenarnya ada ketakutan cukup besar kala memulainya, karena saya sadar saya selalu merasa belum atau lebih tepatnya tidak pantas untuk mengisi kajian. Jadi bisa disebut ini adalah proyek nekat. Apapun hasilnya saya serahkan kepada Allah SWT. Saya hanya ingin mengajak ibu-ibu di lingkungan saya untuk lebih dekat kepada Allah SWT. Merasakan manisnya iman, merasakan indahnya ukhuwah.

Harapan saya semoga anak-anak saya menjadi orang-orang yang selalu dalam barisan dakwah. Saya juga berdoa semoga saya dan suami tetap istiqomah di jalan yang telah kami pilih, doakan semangat ini tak kan surut, hingga tangan maut menjemput!
Jejak Kecil Kehidupan

Sahabat… (seperti acara tv surat sahabat ya!)
Apa yang akan saya tulis di sini adalah sepenggal kisah hidup saya yang mungkin tak terlalu istimewa. Saya adalah seorang ibu rumah tangga dengan dua anak laki-laki. Kehidupan mengajarkan kepada saya untuk selalu mensyukuri apa-apa yang telah Allah berikan. Hal itulah yang mendorong saya untuk lebih banyak instropeksi, bersyukur sekaligus bersabar, karena setiap rentang hidup sesungguhnya adalah ujian. Hanya yang berhasil melewati ujian dengan keimananlah yang akan meraih derajat taqwa, mimpi terbesar saya selama ini….

MASA KECIL SAYA
Saya lahir di sebuah desa kecil yang tak tercantum di peta, namun –tentu saja- akan selalu tersimpan di hati saya, karena di desa itulah saya melewati masa kecil yang indah. Masa-masa yang selalu saja penuh dengan kenangan. Bapak adalah seorang petani dan ibu adalah seorang ibu rumah tangga yang membantu bapak mengelola sebuah usaha penggilingan padi.

Masa kecil saja penuh dengan kenangan bermain, sore-sore berjalan-jalan di sawah (sekedar mencari buah ‘ceplukan’ atau memetik sayur untuk dimasak keesokan harinya). Berjalan melewati pematang sawah, memandang bulir padi yang kuning keemasan atau melihat petani memanen kacang tanah dan jagung. Naik di atas genteng rumah dan memandangi matahari tenggelam adalah kegiatan sore yang tak pernah ketinggalan kami lakukan. Ah…… masa-masa itu adalah masa yang indah dalam hidup saya. Seperti kebanyakan orang tua, Bapak dan Ibu membiarkan masa kecil saya penuh dengan permainan. Karena orang tua banyak menghabiskan waktu mengurus usahanya,maka saya dan saudara-saudara saya lebih banyak di rumah bersama nenek dan pembantu. Meskipun saat itu saya masih kecil, tapi saya paham bahwa kedua orang tua saya bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan kami, lima orang anak yang waktu itu masih kecil-kecil. Meski seharian sibuk mencari nafkah, bila malam tiba, bapak dan ibu masih sempat menemani kami belajar dan membantu mengerjakan PR. Bapak juga selalu siap mengantar jemput bila saya ingin belajar kelompok di rumah teman. Tak heran, waktu kecil prestasi akademik saya boleh dibilang cukup lumayan, saat itu saya hanya berpikir ingin memberikan yang terbaik bagi orang tua.


HARI SAYA KEHILANGAN CINTA

Ternyata kebahagiaan memang tak selalu menyertai kehidupan manusia. Demikian juga dengan saya. Di bawah ini adalah hari di mana saya merasakan langit seakan runtuh, kala saya merasa begitu rapuh, saat orang-orang terkasih itu pergi dari hidup saya secara tiba-tiba. Di saat saya merasa belum siap untuk ditinggalkan.

Selasa, 4-4-1984
Hari di mana ibu yang amat saya cintai pergi untuk selama-lamanya. Sampai kini, saya masih selalu merindukannya

Kamis, 29 Sya’ban (2 hari sebelum 1 Ramadhan) 1994
Hari dimana bapak yang telah berjuang untuk kebahagiaan saya menghembuskan nafas terakhir. Saya sedih karena belum sempat membahagiakan beliau di masa hidupnya

Suatu hari di tahun1991
Hari dimana seorang nenek yang kehadirannya selalu menyertai masa kecil saya, berpulang ke haribaan-Nya

Suatu hari di tahun1994
Hari dimana akhirnya saya sadar, seorang sahabat terdekat saya tak akan pernah kembali lagi

Suatu hari di tahun 2000
Hari dimana kakek dari ayah saya meninggal dunia. Saya hanya bisa menangis sedih di sudut kamar, karena saat itu saya sedang hamil muda anak kedua. Saya tidak bisa pergi untuk menghadiri pemakamannya, sekaligus memberikan penghormatan terakhir untuk beliau. Karena jarak yang begitu jauh tak kuasa saya tempuh

Suatu hari di bulan Maret 2007
Hari dimana nenek dari ayah saya meninggal dunia. Waktu kabar itu saya terima, saya sedang di klinik. Saya langsung mencari penerbangan tercepat yang bisa saya dapat. Esoknya saya berangkat dengan anak bungsu saya, karena tinggal 2 seat yang kosong. Meskipun akhirnya saya tak dapat melihat pemakamannya, tapi saya tetap bersyukur dapat hadir dan memberi penghormatan pada sosok yang telah ikut memberi warna masa kecil saya…

PERKENALAN SAYA DENGAN ISLAM

Kesibukan orang tua atau mungkin karena faktor ketidakpahaman, membuat masa kecil saya kurang bersentuhan dengan Islam. Saya tidak menyalahkan orang tua karena hal ini. Orang tua saya meskipun pada saat itu belum paham Islam, namun telah mengajarkan kami - anak-anaknya - nilai-nilai yang Islami.

Perkenalan saya dengan kajian keislaman diawali saat kegiatan mentoring di SMA 2 Madiun. Saat itu saya masih ingat, pemberi materinya adalah ikhwan (mungkin karena belum ada akhwatnya). Saat itulah saya bersentuhan dengan kajian dan jilbab, bila kajian kami mengenakan jilbab, tapi saat biasa jilbab itu dilepas. Pun ketika kesadaran mengenakan jilbab mulai timbul di hati, mungkin karena keimanan yang begitu sedikit, bila berangkat sekolah kami memakai jilbab dan di sekolah dilepas. Masih sistem bongkar pasang karena pada saat itu jilbab belum boleh dipakai di lingkungan sekolah. Yang ngotot mengenakan jilbab dipersilakan memilih sekolah yang lain. Sebuah bahasa halus untuk mengusir jilbaber. Saat itu sekitar tahun 1990-an saya masih kelas 2 SMA. Sebagian besar dari kami memilih bertahan, karena kami ingin berjuang di SMA ini, sekolah yang cukup bonafid di Madiun. Alhamdulillah… akhirnya keluar SK yang memperkenankan pemakaian jilbab di sekolah. Saat SK itu keluar, saya sudah kuliah di Surabaya.

TETAP SEMANGAT MESKI SUDAH YATIM PIATU

Saya adalah anak yatim piatu, saya bersyukur status itu tak sampai membuat saya berkecil hati. Ibu meninggal saat saya kelas 5 SD. Bapak menyusul saat saya duduk di semester 2. Saat itu saya diterima di FKG Unair… saya masih ingat, mata bapak berkaca-kaca saat membaca pengumuman hasil UMPTN di sebuah media nasional. Bapak terisak bahagia, ada rasa bangga karena anaknya diterima di Fakultas Kedokteran Gigi… Meski Bapak tak pernah melihat saya memakai jas putih saat praktikum di klinik, meski Bapak tak pernah bisa menghadiri acara wisuda saya, pun ketika saya diambil sumpah sebagai dokter gigi… Ketika tiba hari kelulusan saya…
Mungkin dari atas sana Bapak dan juga Ibu bisa melihat kehidupan saya kini…
Tapi saya tahu…ada satu hal yang dibutuhkan kedua orang tua, doa anak yang sholehah…hanya itu yang dibutuhkan Bapak kini ….
Kini, memang hanya ada satu harapan saya, saya sungguh ingin menjadi anak yang sholehah, yang setia mendoakan kedua orang tua saya, semoga Allah berkenan mengampuni dosa-dosa kedua orang tua saya dan memberikan sebuah tempat yang layak di sisi-Nya. Amin.

SAAT-SAAT PERJUANGAN
Kuliah di kedokteran gigi, hidup di perantauan, sudah tidak ada orang tua… duh…sepertinya berat banget…dan memang, itulah yang saya rasakan. Jika bukan karena belas kasih Allah, jika bukan kesabaran dan ketegaran yang kadang meski dipaksakan…entahlah… yang pasti saya bersyukur karena pada saat itu saya dikelilingi oleh teman-teman yang mencintai dan mendukung saya. Saya bersyukur karena saat itu interaksi saya dengan Islam cukup dekat, saya melihat masih banyak teman yang keadaannya jauh lebih berat dari saya.

Dalam kondisi yang serba sulit itu, kami berlima (kakak dan adik, saudara kandung saya) saling menguatkan, saling menasehati dan saling berbagi. Dua kakak saya kuliah di PTN di kota Malang, saya di Unair Surabaya, adik saya di sebuah PTN di Malang dan adik terkecil waktu itu masih kelas 1 di SMA 2 Madiun. Bersyukur karena kami semua dapat kuliah di PTN, jadi tidak begitu banyak menelan biaya. Kuliah di PTN adalah salah satu cita-cita bapak yang mampu kami wujudkan…Saat itu saya melakukan apa saja untuk tetap bisa kuliah, saya bertekad saya harus bisa lulus, meskipun saya harus bekerja sambil kuliah… Meskipun itu berarti waktu belajar dan waktu istirahat saya harus lebih banyak berkurang…
Saya masih ingat, saat itu saya hanya berpikir, saya harus melakukan sesuatu untuk menghasilkan uang. Apa saja yang mampu saya kerjakan. Diantaranya saya berjualan kacang telor, saya menggoreng dan membungkusi sendiri, saya taruh di meja dan di sebelahnya saya taruh kaleng kecil. Tak berapa lama kacang dalam toples akan habis dan kaleng kecil itu akan terisi lembar demi lembar rupiah, dan demikian seterusnya. Saya buang jauh-jauh rasa gengsi dan malu… saya hanya berpikir bagaimana mencari rizki halal untuk tetap bertahan…

Saya juga pernah menjadi loper majalah Ummi dan Annida. Alhamdulillah, saat itu pelanggan saya cukup banyak, mereka adalah teman-teman kampus. Selain itu, profesi sebagai perancang dan penjahit baju muslim juga saya lakoni. Saya membeli kain, mendesain dan menjahit sendiri baju-baju muslim… kebetulan saat itu belum banyak saingan konveksi seperti sekarang…
Baju-baju muslim yang sudah saya jahit itu lalu saya titipkan di Bursa Kafilah, sebuah toko yang terletak di sebelah masjid kampus. Saya sadar, saya tidak punya keahlian menjual langsung ke konsumen. Biasanya dalam rentang waktu sebulan, baju-baju yang saya jahit itu sudah habis dan saya tinggal mengambil uangnya. Lalu sebagian uang itu akan saya belanjakan kain lagi di Pasar Pucang, sebagian uang saya gunakan untuk biaya hidup…demikian seterusnya waktu bergulir dalam kehidupan saya…

Oya, saat itu saya juga memberi les privat, mengajar di TPA dan aktif di SKI dan senat… saya bahkan masih sempat membentuk sebuah grup nasyid muslimah dan teater muslimah bersama dengan teman-teman dari ITS dan IKIP Surabaya… kalau saya pikir sekarang…dengan segala keterbatasan saya saat itu, baik terbatas dari segi manapun (ekonomi, fasilitas dan sebagainya), saya masih bisa lalui…hanya ada satu kekuatan yang tak henti membimbing saya, tanpa campur tangan Allah… mustahil saya bisa lalui semuanya…

Hanya sedikit teman yang tahu keadaan saya yang sesungguhnya. Di luar, saya dikenal sebagai teman yang ramai dan selalu tersenyum. Saya tak pernah bermaksud menyembunyikan kesedihan dan perjuangan saya, namun sebuah ayat yang saya baca suatu malam, saat kesedihan itu datang, cukup menguatkan langkah saya…
Saya lupa persisnya, ….berikut adalah sedikit cuplikan kata-kata yang mampu menguatkan langkah saya, yang mampu memberi energi, bila rasa lelah, penat, letih, capek, sedih dan entah apa namanya itu datang menyerang…
….yaitu orang-orang yang menjaga dirinya dari meminta-minta meskipun sebenarnya ia membutuhkan…kalimat itu saya temukan dalam Al Quran, saya lupa persisnya mana karena saya cari kembali belum ketemu.
Rizki Allah tersimpan di antara tetesan keringat kita…
Ada kemauan pasti ada jalan…
Dan sebuah puisi dari Jalaludin Rumi,
Bila engkau merasa semua jalan sudah buntu
Yakinlah Allah akan menunjukkan jalan tersembunyi
Yang belum pernah dilihat oleh siapapun…
‘jalan tersembunyi”…yap! Saya selalu percaya selalu ada jalan tersembunyi…

ALLAH MEMBERI SAYA TEMAN BERJUANG

Tahun 2006 Allah memberi saya teman berjuang. Dua belas tahun yang lalu, ketika beliau datang kepada saya, beliau adalah seorang pemuda sederhana dengan sebuah tekad dan cita-cita. Seorang lulusan D3 STAN, pegawai negeri dalam level yang masih pemula. Sementara saya adalah seorang yatim piatu dan masih berstatus mahasiswa. Bisa dibilang, kami berdua saat itu memang masih belum apa-apa. Hanya sebuah tekad, sebuah cita-cita bahwa kami berdua ingin bersinergi, bekerja bersama-sama, meniti jalan yang telah kami pilih berdua. Jalan dakwah. Jalan yang penuh dengan duri, yang menanjak dan penuh lubang di sana sini. Bukan jalan mulus yang bertabur bunga.

KEHIDUPAN SAYA KINI

Alhamdulillah, kini saya menikmati kesibukan membesarkan anak, mengantar jemput sekolah, serta mengantar les-les. Sejak awal memang suami melarang saya bekerja di luar rumah. Mungkin beliau khawatir dengan pengasuhan anak-anak kalau saya bekerja. Alhamdulillah, kini saya bisa praktek malam hari, sehingga pengasuhan anak masih tetap bisa saya tangani. Sementara kini suami ingin meneruskan pendidikannya ke jenjang S3 (semoga Allah memberikan yang terbaik –amin- karena suami memang senang sekali menuntut ilmu). Sementara saya cukup melipat cita-cita saya mengajar (menjadi dosen di FKG), dulu saya pernah bercita-cita untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang spesialis, tapi setelah mempunyai anak dan membuka praktek di dua klinik, waktu saya benar-benar sudah tak tersisa lagi. Saya tidak menyesal dengan semua itu. Hidup adalah memilih. Saya sadar. Setiap pilihan haruslah dipertimbangkan masak-masak, karena selalu ada konsekuensi di balik setiap pilihan kita. Saya tidak ingin menyesal dan mengeluh dengan apa yang sudah menjadi pilihan saya.

Satu hal yang saya akan terus belajar dan belajar adalah tawazun, seimbang, semua mendapatkan haknya. Terus terang saya sering kesulitan membagi waktu. Saya ingin ngaji berjalan lancar, pun mutaba’ah harian bisa semua terlaksanakan, anak-anak terjamin, memastikan mereka hari itu makan makanan bergizi, bersekolah dan les dengan baik, pr dan tugas tak ada yang terlupakan, rumah selalu bersih dan rapi, klinik berjalan lancar, saya bisa membaca buku atau menyelesaikan tulisan di komputer (saya punya obsesi menerbitkan sebuah buku –kini masih dalam proses, mohon doanya ya-, kini ada satu cerpen saya yang akhirnya dimuat sebuah majalah wanita, Alhamdulillah). Kenyataannya saya masih sering terteter, memang harus ada beberapa hal harus didelegasikan, namun kalau ‘sang delegator’ berhalangan, mau tidak mau, saya harus siap meng-handle semuanya. Kalau sudah demikian, saya baru benar-benar bisa memaknai, ternyata ‘kewajiban kita memang jauh lebih banyak dari waktu yang kita punya’

Kini saya sedang belajar mengisi kajian ibu-ibu. Bukan karena saya merasa sudah pintar ilmu agama, saya justru nekad dan sebenarnya ada ketakutan cukup besar kala memulainya, karena saya sadar saya selalu merasa belum atau lebih tepatnya tidak pantas untuk mengisi kajian. Jadi bisa disebut ini adalah proyek nekad. Apapun hasilnya saya serahkan kepada Allah SWT. Saya hanya ingin mengajak ibu-ibu di lingkungan saya untuk lebih dekat kepada Allah SWT. Merasakan manisnya iman, merasakan indahnya ukhuwah.

Harapan saya semoga anak-anak saya menjadi orang-orang yang selalu dalam barisan dakwah. Saya juga berdoa semoga saya dan suami tetap istiqomah di jalan yang telah kami pilih, doakan semangat ini tak kan surut, hingga tangan maut menjemput!

THYPUS

PENGERTIAN
• Tipes atau thypus adalah penyakit infeksi bakteri pada usus halus dan terkadang pada aliran darah
• disebabkan oleh kuman Salmonella typhi atau Salmonella paratyphy A, B dan C
• dapat menyebabkan gastroenteris (keracunan makanan)

PENYEBAB
Penyebab penyakit thypus adalah karena adanya infeksi kuman Salmonella typhi atau Salmonella paratyphy A, B dan C

CARA PENULARAN
Penyakit thypus dapat ditularkan melalui makanan dan minuman yang tercemar dengan kuman tipes, Salmonella typhosa, kotoran atau air kencing penderita tipes.

DIAGNOSA
Reaksi Widal merupakan tes imunitasyang ditimbulkan oleh kuman thypus.
Sekarang ada metode Tubex TF, dengan mengukur kadar immune bodies dari kuman thypus yang ada dalam tubuh sebagai reaksi dasar suatu infeksi

GEJALA KLINIS
Gejala yang dialami penderita tipes antara lain :
• Panas badan yang semakin hari bertambah tinggi, terutama pada sore dan malam hari.
• Terjadi selama 7-10 hari, kemudian panasnya menjadi konstan dan kontinyu
• Umumnya paginya sudah merasa baikan, namun ketika menjelang malam kondisi mulai menurun lagi
• Pada fase awal timbul gejala lemah,sakit kepala, infeksi tenggorokan, rasa tidak enak di perut, sembelit atau terkadang sulit buang air besar dan diare
• Pada keadaan yang berat penderita bertambah sakit dan kesadaran mulai menurun

PENGOBATAN
• Istirahat total selama sakit, hindari kegiatan yang banyak menguras tenaga
• Pola makan harus diperhatikan, makan makanan yang lunak, hindari makanan yang pedas, asam dan yang berbumbu/berasa tajam
• Diet rendah serat, tinggi kalori dan protein
• Obat-obat antibiotika golongan Chloramphenikol, Thiamphenikpl, Ciprofloxacin dan lain-lain diberikan selama 7-10 hari atau menurut petunjuk dokter

PENCEGAHAN
• Hindari makanan yang tidak bersih, cucilah tangan sebelum makan
• Meningkatkan daya tahan tubuh, olahraga teratur, makan dengan gizi yang baik, istirahat cukup, dan pemberian Vaksin Thypus

Sumber : Departemen Kesehatan RI

RUMAH RAMAH LINGKUNGAN

Kepedulian akan keselamatan lingkungan hendaknya dimulai dari diri sendiri dan lingkungan terdekat kita. Kalau kita menerapkan kepedulian ini secara konsisten, maka diharapkan lingkungan di luar kita juga akan mengikuti langkah yang kita lakukan. Dengan semakin banyaknya masyarakat yang peduli lingkungan dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, paling tidak akan meminimalisir kerusakan-kerusakan alam yang disebabkan oleh manusia.

Pada dasarnya rumah yang ramah lingkungan atau bersahabat dengan lingkungan adalah rumah yang dirancang sedemikian rupa sehingga sesedikit mungkin menimbulkan polusi, hemat dalam pemakaian energi dan air.

Pemakaian lahan bangunan sebaiknya tidak lebih dari 60% luas lahan dan sisanya digunakan untuk taman atau lahan hijau yang tujuannya untuk pemenuhan kebutuhan oksigen kita sendiri. Perhatikan juga sirkulasi udara dalam ruang-ruang rumah, apakah sudah memadai? Sirkulasi yang baik adalah apabila udara di dalam ruangan dapat mengalir lancer dari satu ruang ke ruang lain. Ini bisa dilihat dari adanya ruangan yang terhubung langsung dengan ruang terbuka baik berupa jendela atau kisi-kisi. Dengan adanya ruang terbuka maka rumah kita bisa memperoleh pencahayaan alami sehingga tidak perlu menyalakan lampu pada siang hari dan dengan adanya taman atau lahan hijau akan mengurangi hawa panas sehingga dapat meminimalisir pemakaian AC atau kipas angin. Hal ini berarti kita sudah menghemat energi serta tentunya hemat biaya pula.

Untuk menerapkan kehidupan ramah lingkungan dalam lingkungan keluarga bisa dimulai hari hal-hal kecil yang terkadang sudah kita lakukan dan sudah kita ketahui. Beberapa hal yang dapat kita terapkan antara lain : menggunakan air secukupnya (tutup kran bila tidak digunakan), mematikan lampu atau peralatan listrik lainnya bila tak digunakan, membuang sampah pada tempatnya, memilah barang-barang yang sudah tak terpakai (organik – non organik) sebelum dibuang di tempat sampah, membuat kompos di rumah dari sampah organik, usahakan menggunakan transportasi umum atau kendaraan yang tidak menggunakan bahan bakar (misal : sepeda), penggunaan mesin cuci sesuai kapasitas maksimalnya, menggunakan produk-produk alami dan berbahan daur ulang, memakai detergen dan bahan pembersih rumah secukupnya, mengurangi pemakaian plastik serta mulai menghentikan pemakaian styrofoam sebagai wadah makanan.

Banyak sekali hal-hal sederhana yang bisa kita lakukan untuk menjadi keluarga yang ramah lingkungan yang kadangkala dari hal-hal yang sederhana ini bisa membuat perubahan yang besar. Inti dari semua hal yang kita lakukan ini adalah kepekaan kita terhadap lingkungan.

Sumber : Kompas 15 Mei 2008