Kamis, 19 Juni 2008

Sebuah sisi poligami

"Kasihan ya jd mbokwek, sdh seharian kerja , ngurusin anak sendiri, malam tidur sendiri, sementara suami bermesraan dengan madunya... apa sih resepnya bisa sabar n ikhlas?"
(20 juni 2008, 04:49:54)

"Pantesan skrg suaminya pean kok kelihatan santai sekali merangkul istri mudanya di tempat umum begitu juga istri keduanya, rupanya udah ada lampu hijau dari pean to..."
(20 juni 2008, 04:50:39)

Kubuka pagi ini dengan dua buah sms dari Kiara (bukan nama sebenarnya) sahabat karibku sejak kecil. Meski kami terpisah jarak, tapi hubungan kami masih dekat dengan cara ber-sms atau aku akan menjemput Kiara untuk mampir ke rumah saat dia ada acara di Jakarta.

Ini bukan sms yang pertama, ada berpuluh-puluh sms yang telah ia kirimkan padaku. Tentang keresahan, tentang kemarahan, ketakberdayaan, luka, sakit hati, perih yang mengiris ulu hati...ketakutan, kepasrahan dan mungkin keputus asaan. Entahlah. Aku sering tak mengerti dan bagiku kadang semua serasa di luar logikaku. Selama ini mungkin aku terlalu berpikir simpel dan sederhana. Ternyata kehidupan begitu rumit.

Menanggapai sms Kiara, yang dapat kulakukan hanyalah menguatkan hatinya. Karena ada hal-hal yang di luar kendali kita, sekuat apapun kita berusaha, kita tak bakal bisa mengubahnya. Dan bila kita tetap keukeuh, maka itu hanya sebuah usaha yang kontraproduktif, sia-sia, aku lebih suka menggunakan istilah menghabiskan energi positif. Tak ada gunanya, justru kita yang akan rugi. Terlalu mahal harga yang harus dibayar. Terlalu sayang waktu yang sangat berharga untuk -sekadar- memikirkan atau mengurusi hal-hal seperti itu. Terlalu sayang pulsa kita keluar untuk membalas sms sampah seperti itu.

Jadi kalau aku jadi Kiara, aku akan segera men-delete sms sampah itu dan segera aku bersihkan hati dan pikiran, gunakan waktu yang sangat berharga untuk memikirkan dan merencanakan hal-hal yang jauh lebih berguna. Ok, aku bisa berkata begini -mungkin- karena jiwa, pikiran, perasaanku sedang stabil, sedang Kiara saat ini?

Kucoba merenung dan memutar kembali perjalanan hidup Kiara di otakku. Kiara yang cantik, adalah temanku sejak SMA. Aku pertama bertemu dengannya saat kelas 1 SMA. Dia gadis yang periang, lincah, rame, ceplas-ceplos dan amat supel. Tidak sulit berkawan dengan Kiara, karena ia apa adanya dan baik hati. Saat kuliah, kebetulan aku cukup dekat dan bisa melihat apa yang terjadi dalam kesehariannya. Kebetulan kami kuliah di kampus yang sama, meski beda fakultas. Pendeknya kami selalu bersama dalam suka duka.

bersambung ya...karena aku hari ini harus bersiap-siap mengambil rapor 2 buah hatiku... peace :)

Ok, aku lanjutkan lagi ya...

Karena kesibukan masing-masing, lama kami tak bertukar kabar. Aku sibuk melahirkan, mengurus suami dan anak, serta pontang-panting mengurus klinik baru, sementara Kiara pun mungkin dengan kesibukan yang nyaris sama. Sampai suatu ketika ia berkirim sms padamu, dan entah kenapa siang itu hatiku merasa sangat tak nyaman. Lalu aku balas smsnya, apa yang terjadi padamu, kenapa aku merasa begitu khawatir?

Dan mengalirlah cerita itu, cukup membuatku tercengang. Suaminya menikah lagi, dan sekitar dua tahun kemudian ia baru mengetahui kebenaran itu. Robbi... aku menggigil, tak mengerti, sungguh tak mengerti. Sudah banyak kudengar kisah tentang perselingkuhan, pengkhianatan, para suami yang menikah lagi, tapi begitu hal itu menimpa sahabat karibku, tetap saja hatiku menangis....

Tapi aku harus tetap berkepala dingin, tidak boleh emosi. Aku tahu bagaiamana rasanya dikhianati, ditinggalkan oleh seseorang yang amat kita cintai. Ada semacam perasaan nelongso, tercampak, terbuang, malu...tak berarti, tak berguna...
Tapi mungkin yang dialami sahabatku ini lebih berat lagi.... Duhai, apa yang bisa kulakukan untuk menolongnya? Sedikit meringankan sesak di hatinya?

Mungkin dengan mudah aku bisa memberinya nasehat, ya sudah, pisah aja, cerai! Atau, Kiara tetap punya pilihan, mau bertahan atau berpisah. Dia yang lebih tahu kondisi hati dan perasaannya, karena ia yang mengalaminya sendiri. Kiara semakin bingung dan aku paham karena aku begitu mengenalnya. Kiara termasuk orang yang tak mudah mengambil keputusan. Mungkin lebih tepatnya sangat hati-hati. Beda dengan diriku yang termasuk cepat dalam memutuskan sesuatu, walau kadang ada beberapa keputusan yang pada akhirnya agak kusesali (eh tapi sesal kemudian tak berguna kan...makanya aku berusaha legowo aja)

Orang tua Kiara menyarankan suami Kiara untuk memilih, perempuan itu atau anaknya. Sementara sang suami ternyata memilih cerai dengan istri kedua. Tapi babak baru yang panjang, melelahkan, menyakitkan telah dimulai. Karena proses perceraian tak semudah membalik telapak tangan. Ada kesan suami Kiara mengulur-ulur waktu perceraian. Bahkan kabarnya mereka tetap tinggal serumah walaupun katanya proses cerai tetap berjalan. Sementara keluarga Kiara sudah sangat membenci suami Kiara. Hal yang wajar dan bisa dimaklumi. Sementara berkumpul di tengah keluarga besarnya, Kiara merasa sangat tak nyaman karena keluarganya selalu membicarakan keburukan suaminya yang tak tahu berterima kasih. Karena selama ini ternyata Kiara sudah banyak membantu adik-adik suaminya menyelesaikan sekolah. Sekedar diketahui saja, bapak mertua Kiara sudah lama meninggal dunia. Namun keikhlasan dan perngorbanan Kiara itu ternyata dibalas demikian.

Dan anehnya lagi, sejak saat itu, banyak sekali sms-sms gelap yang meneror dan mennggodanya. Seperti sms yang tertera di atas tadi. Ketika kutanya siapa pengirimnya, Kiara menjawab tidak tahu. dan yang sangat kusayangkan adalan Kiara membalas dan menanggapi sms itu dengan penuh emosional. Duh....