Sabtu, 30 Agustus 2008

Ramadhan

Bisa mengantar dan menemani anak-anak tidur adalah sebuah kemewahan bagiku. Karena setiap malam hari, dari Senin sampai Sabtu aku harus “menunggu warung kecilku”. Malam itu kebetulan aku sedang di rumah, jadi saat-saat bersama anak-anak kumanfaatkan sebaik-baiknya.

Tibalah saat menjelang tidur. Setelah masing-masing mengambil posisi strategis di tempat tidur, mulailah ritual dimulai. Yap, bercerita, ngobrol dan berdoa.

Sambil menunggu kantuk datang, iseng aku bertanya pada anak-anak.

“Oya, sebentar lagi kan puasa Ramadhan. Mas Azzam senang tidak kalau lagi bulan Ramadhan?” tanyaku pada si kakak.

“Ya senang lah, Mi,” jawab kakak spontan.

“Kalau dik Amil, senang nggak kalau pas bulan Ramadhan?”

“Ya senang, Mi,” jawab si adik.

“Emang kenapa kok senang?” tanyaku ingin tahu jawaban anak-anak.

“Ya kan pas bulan Ramadhan banyak makanan,” jawab si kakak.

“Makanan?” tanyaku tak paham. Wah berarti kalau tidak Ramadhan tidak banyak makanan dong, pikirku.

“Iyalah Mi, kita senang karena banyak makanan. Iya kan, Mas,” si adik menambahi dengan semangat.

“Makanan di mana? Di rumah atau di masjid?”

Aku ingat karena dik Amil kalau sholat maghrib di masjid saat Ramadhan sering membawa pulang kue takjil. Meskipun kue itu toh akhirnya tak dimakan, tetap saja dia bawa pulang. Pernah aku tanya, kenapa ambil kue tapi tak dimakan. Dia bilang, katanya kue itu untuk umi. Woalah nak, ceritanya oleh-oleh to.

“Bukan makanan di masjid, Mi. Tapi di lapangan. Ya kan Dik?” kata si kakak minta penegasan dari si adik.

"Lho? Kok di lapangan?"

“Iya, Mi. Itu lho banyak abang-abang jualan makanan kalau pas sholat tarawih. Jadi kan kita bisa beli-beli…” tambah si adik.

“O…” si umi baru ngeh. Depan masjid di komplek kami memang ada lapangan cukup luas. Dan setiap malam Ramadhan selalu ramai oleh aneka pedagang. Tapi selain pedagang makanan, mainan dan pakaian, tak jarang pasar malam kagetan itu digunakan remaja-remaja untuk cangkruk atau sekedar ngobrol dengan rekan-rekannya.

Sebuah pemandangan yang ironis, karena tak jarang kemaksiatan dilakukan secara terbuka oleh mereka yang dilanda asmara.

Ok, kembali ke percakapan kami.

“Kalau lebaran, seneng nggak?”

“Ya senang dong, Mi.”

“Kenapa?”

“Ya kan ini…” jawab si kakak sambil tangannya memainkan ibu jari dan telunjuk sambil diusap-usap.

“Maksudnya apa, Mas?” tanyaku tak paham.

“Itu uang, Mi…” jawab si adik.

Oalah, aku baru ngeh. Memang kalau lebaran anak-anak akan berhasil mengumpulkan uang cukup banyak. Entah dari saudara atau tetangga.

Aku tersenyum. Biarlah, yang penting anak-anak senang dulu dengan kedatangan bulan Ramadhan dan Idul Fitri. Seiring dengan bertambahnya usia, aku percaya, pada akhirnya akan bertambah pemahaman mereka. Bahwa Ramadhan dan Idul Fitri lebih dari apa yang mereka senangkan saat ini.

Jumat, 29 Agustus 2008

36 Tahun

Kamis, 28-08-2008

Yap! Aku genap berusia 36 tahun (udah tua ya...:D)
(Karena kamis repot banget, jadi baru sempat nulis sekarang...ssstt...kemarin aku jalan-jalan ke tanah abang, belanja persiapan hadiah lebaran...tulisan tentang itu nyusul aja ya!)

Harapanku sederhana saja, semoga hari esok lebih baik

Amin

Minggu, 24 Agustus 2008

NANTI TERLAMBAT



Ini adalah foto sekolah dik Amil dan Mas Azzam....
Foto diambil pagi hari saat umi antar anak-anak sekolah
Mas Azzam mana ya?
*****
“Ayo mandi Sayang, supaya tidak terlambat…” kataku berusaha selembut mungkin (dalam hati sih pinginnya sambil teriak...hehehe).

Seperti biasa aku harus berjuang setiap pagi untuk membangunkan dan memandikan anak-anak. Saat dimana kesabaranku sebagai seorang ibu 2 putra sungguh-sungguh diuji (banyak tidak lulusnya karena aku lebih sering tidak sabaran, marah-marah dan berteriak-teriak kalau anak-anak susah dibangunkan).

Pelan-pelan justru si kakak yang mengingatkan kalau uminya sudah mulai 'tegangan tinggi'

Si kakak suka memperhatikan dan mengkomplain kata-kataku

Seperti misalnya kalau aku berkata,

"Ayo mandi nanti terlambat lho" atau "Ayo belajar, nanti tidak naik kelas lho"

Setelah anakku yang besar protes

“Umi jangan bilang begitu dong, itu kan sama saja umi ngedoain kita untuk terlambat dan tidak naik kelas… “

Akhirnya… aku coba ganti, misalnya

“Ayo mandi supaya nanti tidak terlambat"

"Ayo belajar, supaya nanti naik kelas"

"Ayo sholat supaya disayang Allah"

"Ayo kumonnya dikerjain, supaya kalian pandai berhitung"

Ternyata kalimat bernuansa positif terbukti lebih efektif dan memompa semangat anak-anak…

Dulu aku sering mengatakan

“Ayo PR nya dikerjakan tidak…ntar kalo tidak mau mengerjakan PR, burung parkitnya Umi lepasin deh…”

Atau

“Ayo makannya dihabisin, ntar kalo nggak habis, Umi nggak mau beliin mainan lagi deh….”

Woalah…betapa!

Betapa dulu kalimat yang kutujukan kepada anak-anak selalu penuh ancaman dan ancaman…. Meski semua itu kulakukan demi kebaikan mereka, meski semua itu kulakukan atas nama cinta….

Ternyata aku salah. Jika aku mengaku mencintai anak-anakku, tentu aku tidak boleh mengancam mereka. Tidak boleh membuat mereka berpikir (dengan pola pikirnya yang masih kanak-kanak) bahwa mencintai artinya sama dengan memberi banyak ancaman (karena sering kukatakan bahwa aku mencintai mereka, tapi nyatanya, kehadiranku justru tidak memberikan ketenangan pada mereka).

Kini aku coba belajar mengubah pola komunikasi itu… agar pesan yang ingin kusampaikan tidak bias…

Agar anak-anak dengan kepolosannya tidak salah tangkap, tidak salah mengerti

Maafkan kesalahan Bunda selama ini ya, Nak... dalam mendidikmu, ternyata Bunda harus lebih banyak belajar dan belajar....

ANAK GANTENG


“Aku tidak mau dipanggil anak ganteng,” kata Dik Amil pagi itu, dengan mata yang masih setengah tertutup. Ketika aku membujuknya bangun dengan sebutan ‘anak ganteng’.

“Umi, aku gak mau dipanggil anak ganteng…” rajuknya.

Hahh? Kenapa? Bukannya setiap laki-laki senang dibilang ganteng?

“Aku mau jadi anak jelek aja…”

Aduh nih anak ada-ada aja. Masih mimpi kali ya….

“Ganteng itu kan artinya gelandangan tengik, Mi…” kata si kakak sambil membungkus tubuhnya dengan handuk, baru keluar dari kamar mandi. Rupanya dia mendengar percakapan kami. Ada-ada saja.

Tiba-tiba aku ingin tahu lebih lanjut, "Emang gelandangan itu apa sih? Mas Azzam tahu?"

"Gelandangan itu anak-anak yang ada di jalan, tidak punya rumah, diambil sama bos-bos...."jawab si kakak spontan.


"Iya Mi, yang ngamen di jalan-jalan itu lho," timpal si adik tak mau kalah.

"Kalian tahu dari mana?"

"Kan ada Mi, di TV"

"O... kalau tengik, artinya apa?"

"Tengik itu jorok, bau..." jawab mereka hampir serempak.

"O, jadi ganteng itu gelandangan tengik ya..." ulangku, pantesan si adik sekarang tidak mau dipanggil 'anak ganteng'.

“Kalau jelek?” tanyaku penasaran.

"Umi mau tahu?" tanya si adik khas banget.

“Jelas keren…hehehe” jawab si kakak sambil tertawa lebar.

Aku tersenyum, ada-ada saja anak-anak ini.

“Tapi kalau Mas Azzam ganteng, lain lagi Mi…” si adik tak mau kalah.

“Apa dong?” tanyaku penasaran.

“Gajah tenggelem…hehehe” berdua kompak menjawab sambil tertawa lebar, tubuh si kakak memang ekstra jumbo.

Sukses deh pagi itu anak-anak ngerjain uminya ^-^

Catatan :
Sebenarnya pagi itu umi juga sukses bangunin anak-anak :p

(Jurus umi membangunkan anak-anak adalah dengan mengajaknya bercakap-cakap untuk menarik perhatian, kalau jurus bangunin abi? Tentu lain lagi... :D)

Jumat, 08 Agustus 2008

Bunga di halaman







Hm... kali ini aku ingin menulis tentang bunga-bunga dan tanaman apa aja yang ada di halaman rumahku saat ini. Kenapa saat ini? Ya... karena mungkin saja besok ada yang mati...hehehe atau siapa tahu lusa ada yang memberiku tanaman bunga :)

Ok, foto-foto menyusul ya...
Yang pertama adalah melati. Dulu akubeli dalam pot, tapi kurang berkembang baik, mungkin karena media tanahnya terbatas jadi tiodak bisa tumbuh besar. Begitu aku pindah ke media tanah dan dibuatkan rambatan, alhamdulilah melatku tumbuh subur. Apalagi ia juga mendapat sinar matahari yang cukup. Pasti senang melihatnya, apalagi sekarang lagi banyak kuncupnya...hm harum banget deh!

Lalu ada beberapa pot bunga anggrek. Wah, cantik banget loh bunganya. Padahal daunnya serupa, tapi warna-warna dan bentuk bunganya berbeda. Ada yang merah, ungu, kuning, hijau, putih... seneng banget melihatnya. Pun gampang merawatnya (eh, aku lagi belajar merawat anggrek...pupuknya apa dll aku belum begitu paham)

Lalu ada bunga bungenvile dua warna (merah dan orange) yang tak lelah berbunga. Tak berhenti, bila bunganya rontokmaka dari sela-sela batang akan muncul bunga baru yang segar dan indah. warnanya ngejreng lagi. Bunganya juga awet...plus gampang banget merawatnya. Cukup ditambah kompos, sidiram dan kena cukup sinar matahari. Dijamin akan bersinar eh berbunga sepanjang tahun... hebat nian bunga bungenvile ini (siapa dulu dong penciptanya...:p)

Ada juga bunga wijaya kusuma (seangkatan nani wijaya...hehehe...namanya itu lho, jadul banget ya). Biarpun bunga jadul, tapi wijaya kusuma mini (soalnya ada yang jenis giant)bungaku ini rajin berbunga...walaupun mekarnya cuma beberapa jam...padahal nunggunya lama banget...mekarnya tuh harusnya -katanya- tepat jam 12 malam. Tapi menurut pemantauanku, bunga ini sekitar jam 11-an udah mulai mekar dan menebarkan harum yang khas dan uenak...bangets deh...
sayangnya begitu pagi tiba, aromanya yang harum langsung hilang tak bersisa, begitu juga mekarnya langsung menutup lagi...duh sedih deh...:(
Makanya kalo dia mekar dan aku pas ada waktu, langsung abis deh dijepret-jepret...eh, ada yang jual parfum wangi wijaya kusuma gak ya... wanginya itu lembut, perpaduan melati, sedap malam dan mawar...nah lho...piye ki...:p

Yang lain ada palem ekor tupai, bunga ulat merah, paku-pakuan, rumput air, tanaman air -ora ngerti jenenge-, kamboja jepang, lidah mertua (ada2 aja namanya pakai bawa2 mertua), beras tumpah, pohon jati belanda, jambu air yang lagi berbuah, cemara, dan banyak lagi aku tidak tahu namanya.

Waduh wis bengi...sleep dulu ya...

Kamis, 07 Agustus 2008

Emping

Hari ini, pulang antar anak2 sekolah, aku mampir dulu ke pasar bintaro. Rencananya sih ingin beli tas tempat makan anak2. Tapi setelah keliling2, ternyata tidak ada tas yang dicari... ya, akhirnya aku muter2 aja sambil liat2 barangkali ada yang mau dibeli.

Aku ingat, udah tidak punya keju, akhirnya aku beli keju cedhar. Lalu sambil liat2 eh akhirnya mataku melihat tumpukan emping melinjo. Tiba2 aku ingat masa kecilku dulu. Tempat nenekku di desa Bandar - Magetan adalah daerah penghasil emping melinjo. Banyak warga desa bekerja menjadi perajin emping. Biasanya sehabis panen melinjo, nenek memberikan emping itu kepada tetangganya untuk diolah menjadi emping. Entah bagaimana perhitungannya aku tidak pernah tanya. Yang pasti, jajanan emping goreng yang renyah dan berasa khas itu selalu ada di meja tamu. Apalagi kalau pas lebaran. Makanan yang wajib ada bila kami keliling ke tetangga adalah, emping, madu mongso dan wajik. Kadang2 ada jadah (di jakarta namanya uli) atau jenang (dodol).

Emping dulu bagiku adalah makanan yang harganya mahal. Kami jarang beli. Selain mahal, juga karena nenekku sering membawakan emping sebagai oleh-oleh.

"Emping sekilonya berapa?" tanyaku.

"Dua puluh ribu," jawab penjualnya.

"Boleh deh, setengah kilo aja."

Aku segera memilih emping untuk ditimbang. Baru kusadari emping itu sangat ringan. Setengah kilo dapat banyak sekali, hampir setengah tas kresek.

Emping selalu mengingatkanku pada sebuah desa yang asri. Seorang perempuan tua yang tetap semangat mengelola penggilingan padi. Yang selalu tersenyum cerah saat kami -cucunya- datang menjenguknya.

Emping selalu mengingatkanku pada sebuah rumah yang berhalaman amat luas. halaman yang dipenuhi oleh pohon buah-buahan. Ada buah mangga, jambu bangkok, jeruk bali dan lain-lain.

Emping selalu mengingatkanku pada sebuah rumah yang menyatu dengan kandang. Dimana ayam, itik, angsa, kambing dan bahkan sapi bebas berkeliaran.

mengingatkan aku pada dinginnya air sungai yang dialirkan ke rumah-rumah warga memakai sebatang bambu. Mengingatkanku pada sebuah dapur berkayu bakar. Mengingatkanku pada sepasang sorot mata penuh cinta. Mengingatkanku pada banyak hal... Mengingatkan aku tentang siapa diriku, dari mana aku dilahirkan...

Mengingatkan aku pada sebuah kerinduan yang tak akan pernah hilang. Kerinduan pada orang-orang tercinta yang kini telah pergi selamanya...yang membawaku pada....... muara air mata cinta..........