Rabu, 10 Februari 2010

BELAJAR

Sore itu, saya mengajari Amil (kelas 3 SD) yang besok akan ulangan harian PKN. Materinya adalah tentang Harga Diri. Maka mulailah saya membaca dulu sebelum mengajar anak saya. Materinya berkisar tentang pengertian harga diri, bagaimana cara menjaga harga diri, tentang kejujuran, kemandirian, disiplin dan tanggung jawab.

”Harga diri itu apa, Dik?” tanya saya pada Amil yang asyik main komputer.

”Hm.. apa ya... emang harga diri itu berapa, Mi?” jawab Amil balik bertanya.

Duh, saya harus menjaga kesabaran. Memang saya –agak- membiarkan anak belajar sambil berada di depan komputer, meski saya tahu itu tidak efektif. Tapi dari pada sama sekali tidak mau, jadi saya mesih agak mengandalkan pendengarannya, meski mata dan pikirannya asyik di game.

Saya harus paham, anak saya berangkat sekolah pukul 06.45 dan baru pukul 15.45 sampai di rumah. Saya punya waktu ’belajar’ dengan anak-anak sekitar jam 16.00 sampai dengan jam 18.00 WIB, karena lepas maghrib (kecuali hari minggu) saya sudah ada janji dengan ’sahabat-sahabat’ saya. Makanya sambil melepas lelah -karena baru pulang sekolah- saya biarkan anak-anak bersantai sambil saya coba masuki ’sesuatu.’ Saya bersyukur karena dengan cara ini lumayan berhasil. Kadang-kadang kalau materinya menarik, Amil bahkan rela pindah duduk untuk mengerjakan soal. Akhirnya perhatian dia jadi full fokus ke pelajaran. Kalau dia sudah mulai tertarik main game lagi, maka sayalah yang akhirnya aktif ’berkicau’ di sebelahnya, coba menarik perhatiannya. Seperti sore itu.

”Harga diri adalah kehormatan diri. Apa Dik? Harga diri adalah...”

”Kehormatan diri....”jawab Amil sambil tetap bermain, matanya sekilas memandang saya, hm tampaknya anginnya menunjukkan tanda sepoi-sepoi basah.

”Oke, pinter. Cara menjaga harga diri, ada tiga. Yang pertama, berbicara dengan sopan, tidak boleh kasar dan berteriak. Kedua, memakai baju yang bersih dan sopan, ketiga menjaga penampilan....” begitulah, lalu setelah mendengar kata-kata saya, si Amil lalu mengulangnya dengan kata-katanya sendiri.

Ya, saya harus pintar-pintar membaca situasi hati anak-anak. Apakah ’anginnya’ sedang baik atau tidak. Kalau sedang bad mood, saya mencari kata-kata yang membuatnya nyaman. Tidak dulu menjejali dengan materi pelajaran atau menyuruh mengerjakan kumon, wah bisa perang dunia ketiga. Lalu setelah saya lihat mood-nya mulai bagus, baru saya sodori dengan tanggung jawab yang harus ditunaikannya.

Saya paham, pulang sekolah, anak-anak pasti lelah, capek dan ingin istirahat. Sementara anak-anak saya, pulang sekolah, langsung mandi dan bermain sambil belajar dengan saya. Karena hanya sedikit waktu di sore hari itulah yang kami punya. Saya coba memberi pengertian ke anak-anak kalau malam bundanya harus praktek, makanya kalau mau belajar sama bunda ya waktunya sore hari. Kalau malam harus belajar sendiri. Kecuali kalau ada ulangan semester atau mid semester, saya biasa ambil libur tidak praktek malam.

Maafkan Bunda yang tak bisa full mendampingimu ya, Nak...

TEMAN KECIL

Siapa pun bisa jadi teman. Seorang teman pernah berkata pada saya tentang definisi “teman”. Menurut teman saya itu, teman adalah saling memberi manfaat tanpa ada niat memanfaatkan. Saling memberi untung (menguntungkan) tanpa ada niat mengambil keuntungan. Saling berkorban tanpa mengorbankan. Wah… maknanya dalam banget ya! Kalau dijabarkan bisa lebih panjang lagi. Masih menurut teman saya tadi, kalau ada orang yang mengaku teman, tapi dia masih suka memanfaatkan, mengambil keuntungan dan mengorbankan temannya, maka sesungguhnya dia bukanlah teman. Pusing? Sama, hehe…

Tapi teman yang ingin saya tulis di sini bukanlah teman seperti yang didefinisikan teman saya tadi. Di sini, di rumah kontrakan yang baru, saya merasa tak sampai hati bila harus membuang makanan sisa yang belum basi. Mau dikemanakan makanan-makanan itu? Kalau di rumah gampang, karena saya bisa salurkan ke si mbak untuk dibawa pulang atau dimasukkan ke komposter. Setidaknya saya tak harus merasa bersalah karena telah ‘membuang’ makanan. Tapi di sini?

Sampai akhirnya saya ingat kakak saya ketika masih di Jogja dulu, suka memberi makanan pada kucing. Makanan itu ditaruh di piring di depan rumah. Kenapa tidak saya coba, karena di sini saya lihat ada beberapa kucing yang suka tidur di teras. Akhirnya memakai piring dari styrofoam, saya meletakkan nasi beserta lauk-lauk yang tak habis termakan dan mencampurnya. Benar saja, tak berapa lama, isi piring ludes. Teman-teman kecil saya berpesta dengan suka cita. Saya pun tersenyum dari balik tirai, mengintip tingkah mereka.

Hm… akhirnya saya akui kata teman saya. Teman adalah saling menguntungkan tanpa mengambil keuntungan. Dengan hadirnya teman-teman kecil itu, saya terbebas dari rasa bersalah, sementara teman kecil saya, bisa berpesta dengan sesamanya…. ^_^

Banda Aceh, Januari 2010

TAMAN KOTA

Di sinilah warga Banda Aceh biasa berkumpul pada sore hari, atau pagi di hari Sabtu dan Minggu. Biasanya mereka mengadakan aktivitas santai, berolah raga, basket, futsal atau jogging mengelilingi lapangan yang cukup luas.

Di sekeliling jalan yang dibuat setapak dan sebagai pijakan orang jogging, tampak beberapa monumen kecil dari beberapa negara yang intinya mengucapkan terima kasih dan salam perdamaian. Misalnya dari Bosnia Herzegovina dengan tulisan Hvala Mir.

Setelah puas berlari atau sekedar jalan santai, kita bisa duduk-duduk di pinggir lapangan sambil menikmati hidangan kaki lima . Bubur ayam, bubur kacang hijau, mie ayam, siomay dan ketoprak bisa menjadi pilihan santapan di pagi hari. Cukup kenyang dan bisa mengganjal perut sampai siang.

Matahari mulai meninggi, satu demi satu warga mulai meninggalkan taman kota . Ada keluarga kecil, lengkap dengan kereta bayi dan dua anak balitanya yang lain, digandeng di kiri kanan. Ada juga sekumpulan remaja yang tertawa-tawa sambil mengayuh sepeda. Ada juga sepasang suami istri yang mesra bergandeng tangan, sambil peluh menghiasi keduanya. Ada juga senyum cerah para penjual yang dagangannya laris -manis tanjung kimpul- pada pagi itu.

Taman kota, ya keberadaanmu mungkin tak sekedar sebagai tempat berkumpul warga. Tapi kau telah ikut mencatat sejarah. Saksi bisu atas segala yang telah terjadi. Kaulah saksi di mana sepasang remaja pernah mengikat janji. Kaulah saksi atas sebuah keluarga kecil bahagia bersama sang buah hatinya. Kaulah saksi jika suatu saat mereka datang kembali padamu dengan hati yang sunyi. Berharap bisa memunguti semua kenangan yang pernah terukir di tamanmu, atau bahkan melepasnya. Kaulah saksi bisu yang setia itu…

Dan kini, aku mengukir kenangan di tamanmu. Di sebuah pagi, saat kami duduk bersama setelah lelah lari mengitarimu entah untuk berapa kali… mungkin esok atau entah kapan, akan ada sebuah hati sunyi, karena harus berlari sendiri lagi… ^_^

Negeri Tari Saman, 18 Januari 2010

ATJEH

GARIS PUTIH ITU
Selasa 12 Januari 2010
Dalam perjalanan dari Jakarta ke Banda Aceh, dari 36.000 kaki, tiba-tiba mataku menangkap sebuah garis putih horizontal memanjang. Matahari belum sempurna di atas dan perjalanan baru setengah jalan kulampaui. Sebuah fenomena alam yang mungkin amat biasa. Tapi baru kali ini aku melihatnya.
Tiba-tiba aku ingat percakapanku dengan kakakku dulu. Bahwa sebelum terjadinya gempa Jogjakarta , kakakku melihat garis putih memanjang di langit. Diceritakan bahwa sebelum kejadian gempa, akan tampak garis putih memanjang itu. Aku sendiri tak tahu, hubungan antara garis putih memanjang dan terjadinya gempa. Bahkan belum ada satu ilmuwan pun yang menjelaskannya. Belum jua ada penjelasan ilmiah dari lembaga yang kompeten di bidangnya, BMKG misalnya.
Tapi siang itu, saat aku melihat garis putih memanjang, aku sempat kaget. Dalam hati berujar, “Mbak, inikah garis putih seperti yang kau maksud itu?”
“Ya Allah, jika memang garis putih seperti ini yang dilihat kakakku sebelum terjadinya gempa, aku mohon, semoga garis ini tak berarti apa-apa dan jangan lagi kau timpakan cobaan itu pada kami,” doaku dalam hati, di 36.000 kaki.
Keesokan harinya…..
Aku lihat di TV dan baca di surat kabar, bahwa telah terjadi gempa di Haiti dan Manokwari. Ah… tiba-tiba aku ingat garis putih itu…. Hanya sebuah kebetulan atau memang sebuah pertanda? Atau kita harus lebih jeli membaca tanda-tanda alam?

POHON ASAM JAWA
Entah kenapa, banyak sekali kulihat pohon asam di sini. Utamanya di sepanjang jalan Daud Beureuh. Ya, mungkin saja beberapa puluh tahun yang lalu, pemerintah sepakat memilih pohon asam sebagai pohon peneduh jalan. Pohon-pohon asam yang ada di pinggir jalan itu, ada yang berusia tua dan muda. Ada yang dahannya menjulang sangat tinggi dan dahannya pun mempunyai lingkar yang besar. Dan yang lebih menggiurkan, banyak sekali buahnya. Buahnya bergelantungan, rimbun dan besar-besar. Dan yang membuat aku merasa aneh, buah-buah itu dibiarkan saja, yang sudah tua dan kering dibiarkan jatuh dan berakhir di keranjang sampah, disapu pagi-pagi oleh petugas kebersihan.
Aku jadi berpikir, jika saja buah-buah itu dipanen dan dikemas lalu dijual. Hehe… bagaimana kalau aku menjadi pengusaha buah asam saja? Sedih rasanya melihat buah-buah itu mubazir di sini….
Iseng-iseng aku bertanya pada seorang penjual jamu gendong yang pagi itu ketika sedang berjalan-jalan aku menjumpainya. Setelah minum jamu yang asam pahit segar, aku bertanya, “Apa di sini orang tidak masak pakai asam?” Mbok jamu gendong itu menjawab, “Mboten, menawi masak sayur asem ngagem belimbing wuluh…” Ooo… begitu to… lha pantesan aja… ^_^

BURGER
Berjalanlah sore hingga malam hari di sepanjang jalan Daud Beureuh, maka kau akan temui sebuah pemandangan menarik. Banyak pedagang burger di kanan kiri jalan. Dilengkapi oleh kursi-kursi kecil dan meja plastik yang ditata berjajar di sepanjang jalan. Mengingatkanku akan sebuah warung lesehan di kawasan Malioboro, Yogyakarta . Tapi di sini, di Banda Aceh, mereka tidak lesehan menggunakan tikar, tapi sebuah meja plastik yang dikelilingi oleh dua, tiga atau empat kursi plastik. Ditata berjejer di sepanjang jalan.
Saat aku lewat suatu malam, tampak beberapa pasangan, juga sekelompok remaja, duduk-duduk menikmati hidangan dan -mungkin juga- menikmati suasana jalanan. Pertama melihat, aku merasa agak aneh, sempat bertanya ke suami, “Lho emang orang Aceh suka makan burger ya?”
Oh… aku baru ngeh, bahwa budaya makan burger adalah salah satu budaya yang diperkenalkan orang di luar Aceh saat mereka datang membantu ketika bencana tsunami dulu. Kebetulan aku belum pernah beli burger. Sekali-kali aku ingin beli dan –yang lebih utama- ingin ngobrol sama penjualnya, sejak kapan mereka jadi penjual burger, siapa yang mengajari bikin burger dan bagaimana perkembangan usahanya setelah BRR meninggalkan Aceh? Yang pasti, mungkin pembelinya jadi berkurang ya…..

DOORSMEER
Percaya nggak, sampai capek muter-muter seluruh kota , jangan harap kita menemukan tulisan CUCI MOTOR. Lho kok? Jadi kalo pingin cuci motor harus siap berbasah-basah ria alias cuci sendiri dong? Hm… ya enggak juga sih, ternyata….
Saat jalan-jalan sore, aku banyak sekali membaca tulisan itu di pinggir jalan. DOORSMEER. Ya, doorsmeer! Ada juga tulisan doorsmeer, terus ditambahi di bawahnya roda dua atau ambal (eh ambal itu apa ya, kalo abal sih tahu….hehe). Nah, aku sudah mulai bisa menduga-duga, apa maksudnya. Ya benar! Ternyata itu adalah istilah warga untuk sebuah jasa pencucian motor! Kalo di Jakarta mungkin kita akan sering melihat tulisan CUCI MOTOR atau MOTOR WASH atar CAR WASH. Nah… kalau di Banda Aceh ini, jangan harap akan melihat tulisan CUCI MOTOR. Bukan karena tak ada jasa pencucian motor, tapi kalau di sini namanya DOORSMEER. Begitu loh… !
Eh… ngomong2 doorsmeer itu bahasa apa ya? Kayak bahasa Inggris ya… ^_^

TAWAS
Saat di toko bangunan membeli paku dan palu, datang seorang ibu-ibu membeli tawas 2 kg. Dalam hati aku sempat bertanya, hm… tawas untuk apa?
Dan akhirnya… beberapa hari kemudian, pertanyaan itu terjawab sudah. Di tempat kami yang baru, entah kenapa PAM belum masuk. Jadi untuk keperluan sehari-hari, untuk mandi dan cuci ngepel, kami menggunakan air sumur yang warnyanya aduhai.
Pertamanya sempat cap cay juga sih. Tapi mau gimana lagi. Sempat aku mau beli tawas dan bertanya bagaimana cara menggunakannya. Ternyata tawas itu harus dimasukkan di sumur (pantesan si ibu tadi langsung membeli 2 kg). Karena kalau dimasukkan di penampungan bak mandi, maka akan muncul busa. Akhirnya aku coba telpon bapak pemilik rumah, dan ternyata sumurnya sudah ditutup dan susah dibuka (sudah disemen).
Pertamanya si bapak cerita kalau air di tempat ini bersih dan bening. Dulu keluarga si bapak juga tinggal di sini dan masak serta minum dengan air sumur itu. Suami percaya saja tanpa melihat bagaimana kondisi airnya. Dikiranya sama bersih bening seperti kondisi air sumur kami di rumah Bintaro.
Aku sempat bertanya dalam hati, mungkinkan kondisi airnya berubah, dari dulu bening sekarang berubah coklat? Akhirnya aku telpon si bapak pemilik rumah, ternyata yang dimaksud bersih bening ya seperti itu, yang menurut kami adalah coklat. Dalam benak kami yang namanya bersih bening ya jernih, tidak berwarna, tidak berbau, tapi segar. Sementara menurut persepsi si bapak, bersih jernih itu airnya bening tidak seperti kopi susu, karena beliau selalu bertanya, tapi bening kan ? Atau seperti susu? Aduh bapak, kalau airnya seperti susu, pigimane? Ya, ternyata hanya ketidaksamaan persepsi!!
Akhirnya… ya akhirnya… terima apa adanya, habis mau bagaimana lagi. Akhirnya air itu hanya untuk mandi dan cuci, hehe… semoga tak bikin gatal2 ya…. Jadi ingat saat mandi di kali saat berkemah SMA dulu… 
Untuk minum dan bahkan mencuci beras, mencuci buah dan sayur yang akan dimasak, kami menggunakan air aqua….
Jadi, wahai teman-temanku tersayang, bersyukurlah yang diberi Allah swt karunia berupa air yang bersih, jernih, lancar mengalir. Hematlah dalam menggunakannya dan jangan boros. Karena masih banyak saudara kita di belahan bumi yang lain (termasuk saya di sini….hiks!), air bersih sungguh-sungguh merupakan barang mewah yang tak sanggup terbeli..…karena -juga-tak ada yang jual air keliling…. 

RUMAH TAK BERPENGHUNI
Entah kenapa, di sekitar tempat tinggal kami di sini, banyak sekali rumah kosong tak berpenghuni. Rumah itu kondisinya ada yang hancur habis, setengah hancur atau dengan kerusakan sedikit, namun tetap terlihat seram karena tak terawat dan banyak tumbuhan liar memenuhi halaman bahkan merambat ke atap rumah.
Menurut kabar kabur, rumah itu adalah bekas rumah yang terkena tsunami dan pemiliknya -mungkin- sudah tidak ada lagi yang tersisa. Entah karena sudah meninggal tersapu tsunami atau entah belum sempat mengurusnya kembali. Memang lokasi tempat kami sekarang termasuk yang mengalami kerusakan parah saat tsunami menerjang 4 tahun yang lalu.
Adanya rumah kosong tak berpenghuni dan tak terurus itu, mau tak mau cukup menganggu karena selain kelihatan seram juga banyak dihuni binatang liar, semacam nyamuk, tikus dan kecoa.
Jadi, menurutmu, sebaiknya rumah itu digimanain ya?

WONG SOLO YANG KEHILANGAN JATI DIRI
Ini adalah sebuah tulisan tentang rumah makan Wong Solo. Saya dan suami termasuk salah dua orang yang suka dengan menu rumah makan Wong Solo. Dan betapa suka citanya kami saat menemui Wong Solo ternyata ada di Banda Aceh, tepatnya di Daud Beureuh. Terbayang ayam kampung bakar yang manis legit, dengan bumbunya yang khas lezat. Maka suatu malam, mampirlah kami untuk bersantap malam.
Warung itu terletak strategis di pinggir jalan dan ramai pengunjungnya. Bertambah semangat empat lima kami. Eh ternyata orang sini suka juga dengan cita rasa Wong Solo ya, gumanku dalam hati.
Kami pun memesan dua paket ayam bakar. Tak perlu menunggu lama, hidangan pun siap tersaji. Tapi…olala… eng ing eng… hm gak salah nih? Hanya tersenyum dalam hati, dari warna dan aromanya, ini bukan ayam Wong Solo, lebih tepatnya, ayam bakar Wong Solo yang sudah kehilangan jati diri, atau bermetamorfosis menyesuaikan diri dengan cita rasa lidah warga asli sini?
Apa pun itu… selamat buat warung Wong Solo yang tak pernah sepi pengunjung, yang telah berhasil bermetarmofosis menyesuaikan diri dengan lidah warga asli di sini…
Dan tiba-tiba bayangan ayam kampung bakar Wong Solo yang manis legit perlahan memudar… Kenyataan di depan mata, sepotong ayam negeri dengan rasa tak ada manis-manisnya… ditambah semangkuk kecil bumbu kari ayam, sambal, lalapan berupa seiris terong goreng… hehe… udah, sikat aja bleh… ^_^

CIBIUK
Lumayan, masih ketemu rumah makan sunda Cibiuk dengan cita rasa yang masih belum bermetamorfose…

KOMPOSTER
Ada sesuatu yang menarik perhatianku di tempat tinggal baru kami. Ya, di kanan kiri jalan, ada dua tong warna biru dengan ukuran yang lumayan besar, tertutup rapat dengan lubang udara yang terjaga. Sebuah tulisan tertempel di bak tersebut : KOMPOSTER
Tong biru kembar itu banyak kami temui di kanan kiri jalan. Tertata dengan rapi.
Hm… menurutku ini adalah satu kemajuan, mendorong rasa ingin tahu lebih lanjut… bagaimana kondisi komposter yang ada di daerah ini, bagaimana perilaku warganya ya… karena aku belum pernah melihat seorang warga membuang sampah organik ke komposter itu…

WANITA DAN PASAR ATJEH
Pasar yang cukup besar dan terletak di tengah kota . Barang yang dijual tak kalah dengan yang ada di ibukota. Baju-baju model terkini seperti yang biasa kita jumpai di tanah abang. Satu-satunya yang membedakan mungkin hanyalah harganya. Ya, di sini agak lebih mahal.
Jilbab-jilbab pun bertebaran dengan aneka corak dan warna. Semua barang yang ada tak ketinggalan. Benar-benar tak ubahnya kita memasuki pasar yang ada di wilayah ibukota. Hm… ternyata warga di sini tak pernah ketinggalan mode. Di jalan-jalan, di pertokoan, maupun di kafe-kafe, remaja dan ibu-ibu berdandan dengan modis, dengan kerudung melilit rapi, baju menutup aurat tapi tetap terlihat cantik.
Di sepanjang jalan, kulihat banyak salon khusus perempuan. Banyak juga butik-butik yang menjual aneka baju dan kerudung.
Aceh telah berbenah… perempuan Aceh yang dulu terkenal kuat, gagah dan tegar (jadi teringat film Cut Nyak Dien) kini tampil cantik dengan tetap menutup aurat.
Di jalan-jalan pun banyak perempuan yang naik motor dan menyetir mobil. Mandiri. Kulihat banyak juga anak-anak perempuan dengan seragam sekolah bertebaran di jalan di pagi hari, bergegas mengejar waktu…..

BELI TELOR
“Bang, beli telor setengah kilo,” kataku siang itu. Si abang tampak bengong. “Ya, Kak? Apa?!’ tanyanya tak mengerti. “Beli telor setengah kilo, Bang,” kataku agak keras, khawatir si abang tidak mendengar.
“Telor? Berapa biji?” tanyanya lagi. “Emang ada telor dijual kiloan? Di mana?” tanya si abang lagi dengan penuh keheranan.
Ups, aku yang gantian heran. “Baik, deh Bang, beli telor 8 biji, “ kataku lagi. Si abang dengan cekatan segera memasukkan 8 butir telor ke dalam kantong plastik.
“Hm, kalo mau beli beras, gimana Bang? Kiloan atau…?” tanyaku, takut salah.
“Oh, kalau beli beras per bambu,” jawab si abang, sambil memperlihatkan yang dimaksud dengan ukuran per bambu itu.
Ups, untung aja beli beras bukan perbiji. Lama banget ngitungnya, terus kapan masaknya?

AYAM LEPAS DAN AYAM TANGKAP
Entah apa maksudnya, di Banda Aceh aku melihat ada rumah makan yang bernama AYAM LEPAAS. Eh… masih di kota yang sama -hanya beda lokasi- ada juga rumah makan yang bernama AYAM TANGKAP. Hehehe…. Gak tahu apa maksudnya, yang pasti aku belum pernah mencoba keduanya… 

BECAK
Akhirnya…. siang itu terwujud sudah keinginanku untuk mencoba naik becak aceh. Ya, sebuah kendaraan angkut yang terdiri dari sebuah becak yang ‘diikatkan’ di samping motor.
Entah kenapa, becak itu ditarik motor. Apakah berat bagi tukang becak untuk menggayuh becak dari belakang dengan tenaga kaki atau untuk alasan kepraktisan? Yang pasti, karena ditarik dengan motor, si abang becak tak perlu terlalu capek, dan bagi si penumpang juga mendapat keuntungan, karena lebih banyak barang yang bisa diangkut dan jarak tempuh pun bisa lebih jauh. Bahkan becak motor itu bebas berlalu lalang di antara jalan utama, pasar dan di gang-gang sempit. Benar-benar membantu ibu-ibu yang pulang dari pasar dengan banyak belanjaan. Menggantikan peran bajaj dan ojek. Eh bahkan saya tak melihat satu pangkalan ojek pun di sini! Yang ada adalah becak yang ditarik motor, lalu lalang menawarkan jasa antar.
Siang itu saya pulang dari pasar dengan membawa 2 buah kasur busa, diikat di atas atap becak. Saya tersembunyi duduk di becak, tertutup kasur. Akibatnya, saya dan si abang sempat muter-muter mencari rumah kontrakan, kesasar-sasar nggak karuan… duh…. 

BAKSO CJDW
Sekitar jam setengah 2 siang, duduklah dengan tenang di ruang depan, maka akan lewat seorang abang bakso dengan bunyinya yang khas, ting ting ting! Ya itulah si abang bakso yang menulis rombongnya dengan tulisan “BAKSO CJDW” baca : bakso seje dewe yang artinya dalam bahasa jawa kira-kira : bakso beda sendiri (paling beda). Dari namanya, ketahuan kalo si abang bakso adalah seorang perantauan dari Jawa.
Tinggal di negeri yang mayoritas penduduknya adalah penduduk asli dengan bahasa yang tak kita mengerti, wajar kalau kehadiran orang setanah asal membuat kita cepat merasa akrab, serasa ada teman.
“Sampun dangu dateng mriki?” tanyaku.
“Nembe Mbak, dereng tahunan,” jawabnya.
“O, sampun saget bahasa aceh?” tanyaku lagi.
“Wah, bahasa Aceh susah Mbak, taksih luwih gampang belajar bahasa Inggris,” jawab si mas bakso itu gaya . 