Rabu, 29 Juli 2009

ANAKKU

Ternyata punya anak itu menyenangkan ya. Hehe… kini anak-anak udah agak besar, udah kayak teman, bisa diajak berpikir, bisa dimintai pertimbangan. Dulu…, dulu sekali, saat mereka masih kecil dan masih dalam gendongan kita, mereka tampak begitu tak berdaya. Mereka begitu kecil, dengan jari-jari tangan yang lembut dan mungil, sering kita ciumi, wangi walau belum mandi. Dalam hati sering berucap, ya Allah, nak kamu begitu kecil, namun kebahagiaan yang kau beri begitu besar…

Anak-anak kecil itu seakan amat bergantung kepada kita. Pun kita seakan ingin memberikan apa saja yang mampu kita beri. Kita akan berusaha sekuat tenaga untuk melakukan yang terbaik buat anak-anak kita. Saat mereka sakit, kita rela semalaman mengendongnya, karena begitu ditaruh mereka akan bangun dan rewel, seakan gendongan kita adalah tempat ternyaman di dunia. Saat mereka demam dan tak juga turun panasnya, kita rela membaluri sekujur tubuhnya dengan bawang merah parut dicampur minyak telon, meski perut kita langsung mual-mual tak tahan bau bawang merah parut. Semua itu kita lakukan hanya atas dasar cinta dan sayang, berharap demam sang anak akan segera turun, seperti biasanya.

Seakan belum lama menimang mereka, siang itu aku pergi berdua dengan Azzam, sulungku yang baru sembuh disunat. Sekarang dia sudah besar, saat aku mau pergi siang itu, dia memaksa ikut, aku sempat melarang karena dia belum sembuh benar. Aku mau nemani Umi, demikian katanya. Atau entah dia ingin beli apa, atau boring beberapa hari ini hanya di rumah.

”Kok Umi berani sih nyetir jauh-jauh?” jelas kekhawatiran di nada suaranya. Saat itu aku lewat jalan arteri pondok indah, jalan yang tak biasanya, dia belum begitu familiar.

Aku tersenyum. Ingat ucapanku sendiri, “umi gak berani nyetir jauh-jauh” ternyata itu begitu terpatri dalam otaknya. Selama ini memang aku hanya berani bawa mobil ke sekolah, ke klinik, atau ke Bintaro Plaza, yang semuanya masuk dalam kategori jarak dekat. Siang itu kami berencana ke Pasar Mayestik.

”Ini nggak terlalu jauh, Mas. Umi kan udah sering ke bandara, nah itu lebih jauh...” jelasku.

Sebenarnya memang itu pertama kalinya aku ke pasar Mayestik pakai mobil, biasanya naik metromini atau bawa motor, lebih praktis. Tapi siang itu karena agak banyak yang –rencananya- mau dibeli, kupikir repot kalau naik metro atau pakai motor. Akhirnya ya, dengan bismillah semoga lancar dan dapat tempat parkir. Semua juga tahu kalau di Mayestik, susah sekali parkirnya, bisa habis waktunya buat muter-muter. Tidak seperti salah seorang temanku yang kemana-mana selalu diantar sopir, dia tinggal turun dan sopirnya yang muter2 cari tempat parkir, selesai belanja tinggal nelpon sopirnya, dan tereret... dalam beberapa kejab, mobil sudah berada di hadapannya...hehehe

Alhamdulillah begitu aku masuk, langsung ada mobil keluar tepat di depanku, jadi gak perlu muter2. Aku bersyukur dalam hati. Berdua aku jalan bareng si kakak. Mencari toko kain batik, karena hari itu rencananya mau beli batik. Ternyata cukup pusing juga, ada berbagai macam corak, warna dan jenis kain. Dari katun, silk, dan apa namanya aku nggak begitu ngerti. Setelah beli kain dan beberapa peralatan dapur, kami menyusuri jalan yang padat dengan pedagang emperan. Tiba2 aku melihat pigura, ups... udah lama ingin beli pigura untuk membingkai SIP di klinik.

”Berapa Bang yang ini?” tanyaku sambil menunjuk bingkai seukuran folio.

”Tiga puluh” jawab si Abang

”Dua puluh boleh nggak, Bang. Saya ambil 5 buah, jadi seratus ya?” tawarku.

“Belum bisa Bu, dua lima satu..” jawab si abang.

“Ya udah, bang, makasih ya...” jawabku sambil berlalu. Sudah menjadi sifatku, aku nggak mau lama-lama nawar, kalau boleh ya aku ambil, kalau belum boleh ya nggak papa, aku tinggal, pikirku lain kali aja, wong belum mendesak.

Si kakak tampak menahan langkahku, lalu menempelkan bibirnya di telingaku.

”Umi, katanya kalo sama orang miskain (baca : miskin) nggak boleh nawar?” bisiknya, tepat di ulu hatiku.

Iya sih, aku sering mengatakan hal itu sama anak-anak. Jadi?

”Sebenarnya Umi juga belum begitu butuh bingkai sih, Mas”

”Tapi kan Umi tadi udah nawar, kan kasihan orangnya, Mi?” kutatap mata si kakak yang juga sedang menatapku.

Akhirnya aku berbalik arah. “Baik Bang, saya ambil 4 bingkai deh...”

Begitulah... tak hanya sekali ini aku diingatkan oleh Azzam. Dulu waktu masih TK, kalau sedang jalan-jalan di mall, aku suka memegang baju-baju yang tergantung.

Si kakak selalu bertanya,” Umi mau beli?”

”Nggak Mas, Umi cuma mau lihat-lihat...” jawabku.

”Ya udah, Mi, kalo nggak mau beli nggak usah pegang-pegang..” katanya lagi.

Ups...

Atau bila lihat tanaman bunga atau saat melihat buah-buahan aku suka berkomentar, ” Hm... bagus sekali. Hm buahnya segar sekali deh Mas...”

Si Azzam akan bilang, ”Ya udah, kalo Umi suka, beli aja..”

Lalu aku akan menjelaskan, bahwa kita tak harus membeli semua yang kita sukai atau inginkan. Kita hanya membeli apa-apa yang kita butuhkan.

Azzam anaknya juga sangat teliti dan hati-hati akan sesuatu, misalnya status suatu makanan. Suatu hari, kami melihat iklan sebuah ‘cheese cake’ yang begitu menggoda di sebuah gerai roti ternama. Memang begitu menggoda, yummy, lembut dan... hm pokoknya amat menggoda deh...

”Yuk, Mas... kita beli cheese cake itu... hm kayaknya lezat deh…, eh udah ada sertifikat halalnya belum ya...” kataku.

”Kayaknya belum ada, Mi… kalau sudah ada kan pasti dipasang…” jawabnya sambil melihat-lihat sekeliling.

”Umi mau tanya dulu ah...” kataku.

”Mas, maaf ya, mau tanya, udah ada sertifikat halal dari MUI belum?” tanyaku hati-hati, pada si Mas margarin, eh si Mas yang lagi jagain gerai.

“Belum diurus lagi Bu...” jawab mas penjaga ramah.

”Ok, makasih ya mas...” jawabku.

”Belum diurus lagi, Dik... kita beli donat aja yuk...” tawarku.

Terciumlah aroma donat dari sebuah gerai donat ternama, begitu menggugah selera, begitu menggoda....

”Hm... baunya enak ya Mi, tapi yang ini juga belum halal...hehehe... kita beli dunkin aja yuk...” ajaknya.

”Kenapa ya mereka belum mau ngurus sertifikat halal?” tanyaku.

”Salah orang Islam sendiri sih, Mi... wong nggak diurus juga udah laku kok...” katanya.

”Iya sih Mas, karena kita kurang peduli. Mereka beli mungkin juga karena tidak tahu... ” jawabku.

***

Catatan :

Anakku, pada satu sisi, kau adalah cermin diriku. Apa yang sering kuucapkan padamu dulu, kini sering kudengar dari lisanmu. Cara marahmu, caramu menyikapi sesuatu... seakan aku pernah menemukan orang seperti itu, ya… orang itu adalah aku.

Anakku, pada satu sisi, kau adalah cermin diriku. Tapi pada banyak sisi yang lain, kau adalah dirimu sendiri....

Tidak ada komentar: