Senin, 03 November 2008

Syndrom pra-nikah?

Wajah di depanku tampak murung.
Minta tissue ya, Dok," kata perempuan muda itu sambil mengusap hidungnya yang berair dan tampak kemerahan.
"Ambil aja Mbak, lagi flu ya?"
"Bukan. Saya lagi berantem sama pacar. Memang kalau mau menikah begitu ya, Dokter. Kata orang selalu saja banyak halangannya. Hal-hal yang dulu rasanya biasa-biasa saja, sekarang sering jadi bahan pertengkaran," tanpa diminta perempuan di depanku sudah bercerita panjang lebar.
(Dalam hati aku berucap, ini mau cabut gigi atau mau konsultasi psikologi, salah masuk ruangan kali...:p)
"Ya, yang sabar saja, Mbak. Namanya hidup pasti ada saja cobaannya," kataku sok memberi nasehat....(hihihi yang standar2 aja)
"Kata teman saya sih, kalau saya berantem sama pacar yang ini terus memutuskan tidak jadi menikah, pasti nanti sama pemuda yang lain juga begitu. Jadi gimana ya, Dok?"
Waduh saya harus menjawab apa nih.
"Usianya berapa sih Mbak, masnya?"
"Tiga tahun lebih mudaan dia sih."
"O, ya wajar Mbak, jangankan lebih muda, yang lebih tua atau sama juga pasti begitu. Itu namanya penyesuaian Mbak...."
"Semacam pressure ya Dok, saya sekarang jadi sering menangis Dok, saya sering merasa sedih untuk hal-hal yang kecil. Saya hanya ingin dingertiin..."
"Sabar Mbak, nanti kalau sudah menikah, tahun-tahun pertama biasanya juga sering nangis. Sering salah paham, sering merasa sakit hati. Tapi lama-lama juga kenal, saling paham, ya akhirnya jadi banyak tertawa deh..."
(eh jangan-jangan ini pengalaman pribadi dokternya....hihihihi)
"Menurut saya sih, ya, laki-laki itu egonya tinggi. Maunya dituruti dan diakui sebagai suami. Okelah, Mbak nggak apa-apa. Untuk hal-hal yang tidak prinsip, kita turuti saja apa kemauannya Mbak, nggak susah kan. Karena ada juga tipe suami yang bila kita berbeda pendapat, dianggapnya kita menentang atau durhaka. Padahal maksud kita tidak begitu. Boleh kan kita mengeluarkan pendapat, mungkin pendapat kita lebih baik, atau mungkin pendapatnya yang lebih baik. Kalau saya, karena saya sudah mulai mengenal suami saya, untuk hal-hal yang saya anggap tidak prinsip, saya nurut saja deh, Mbak."
"Yang nggak prinsip, contohnya apa? Terus yang prinsip apa?"
Aku tersenyum. "Prinsip dan tidak prinsip mungkin bagi orang tidak sama ya Mbak. Kalau bagi saya, yang prinsip misalnya, suami melarang kita sholat, nah kita tidak wajib ikuti. Tapi kalau yang tidak begitu prinsip, misalnya saya berbeda pendapat tentang pemasangan awning di rumah. Suami maunya garasi terbuka, udara dan sinar matahari bisa masuk, bawahnya ditanami rumput hijau. Ok, saya bisa terima karena maksudnya baik. Tapi saya juga punya pendapat, bagaimana kalau musim hujan, mobil -yang saat itu belum lunas- harus basah kehujanan, tembok dan jendela serta pintu yang terbuat dari kayu bisa cepat rusak. Tapi suami tetap bersikeras dan saya ikuti saja pendapat. Benar, keika musim hujan tiba, semua kekhawatiran saya terjadi, bahkan lebih parah. Cat yang baru mengelupas dimana-mana. Kusen dan pintu basah, lembab dan mulai berjamur. Sementara mobil basah kuyup karena hujan yang sering turun disertai angin. Saya hanya diam, tak menyalahkan suami atau merasa pendapat saya benar. Saya hanya bilang "Wah, Mas, kalau begini terus, rumahnya bisa cepat ambruk, deh..." Besoknya suami langsung nyuruh pasang awning."
Perempuan di sepanku tampak serius mendengarnya.
"Kalau menurut Dokter, ini termasuk hal yang prinsip atau bukan? Dia kan orang Jawa, nah kalau memanggil adik atau kakak harus pakai sebutan Mas atau Mbak,sementara kan saya terbiasa moderat, langsung panggil nama, bahkan ke orang tua juga boleh langsung panggil nama. Eh sekarang saya harus memanggil kakak atau adiknya dengan embel-embel mas atau mbak atau dik di depan namanya. Ribet banget kan, Dok? Saya maunya langsung panggil nama saja, kan kedengarannya juga lebih akrab. Dia langsung marah-marah deh..."
Aku tersenyum, jadi ingat teman SMA ku yang sama banget pemikirannya dengan mbak di depanku ini (soal memanggil nama, bahkan ia merencanakan anaknya hanya memanggil namanya tapi ditentang oleh keluarga besar).
"Ok, menurut saya itu bukan hal prinsip, tapi bisa jadi, menurut keluarga si Mas, itu hal prinsip banget. Jdi saran saya, ikuti saja Mbak, kan bagus juga maksudnya. Mbak bisa lebih cepat diterima keluarganya, dan Mbak juga sambil belajar adat jawa, kebiasaan, bagaimana hubungan kekeluargaan di keluarga Mas. Mbak kan akan jadi anggota keluarga, jadi ya wajar kalau Mas mulai mengenalkan bagaimana pola keluarga besar dia. Ikuti aja Mbak, asal masih wajar dan tidak bertentangan dengan prinsip kita..."
"Yang bertentangan misalnya apa?"
"Apa ya, misalnya kalau ada adat yang mengarah ke syirik, ya jangan diikuti..."
"Baik Dokter, saya sudah agak legaan. Sekarang saya mau cabut gigi, geraham atas saya..."
Setelah aktivitas cabut gigi selesai............
"Nanti lagi kalau ada masalah, saya boleh curhat ke Dokter ya...."
Saya mengangguk sambil tersenyum.
"Nggak salah nih? Emangnya gw psikolog?" cuma nyengir dalam hati.

2 komentar:

dewisri mengatakan...

wah adik gue cocock banget jadi psikolog

Seliara mengatakan...

Hahaha... masih ada banyak lagi Mbak, ntar kalo sempat aku tulis ya. Gimana persiapannya ke Amrik? Udah beres? Jangan lupa rajin nulis di blog-nya ya...:)