Kamis, 07 Agustus 2008

Emping

Hari ini, pulang antar anak2 sekolah, aku mampir dulu ke pasar bintaro. Rencananya sih ingin beli tas tempat makan anak2. Tapi setelah keliling2, ternyata tidak ada tas yang dicari... ya, akhirnya aku muter2 aja sambil liat2 barangkali ada yang mau dibeli.

Aku ingat, udah tidak punya keju, akhirnya aku beli keju cedhar. Lalu sambil liat2 eh akhirnya mataku melihat tumpukan emping melinjo. Tiba2 aku ingat masa kecilku dulu. Tempat nenekku di desa Bandar - Magetan adalah daerah penghasil emping melinjo. Banyak warga desa bekerja menjadi perajin emping. Biasanya sehabis panen melinjo, nenek memberikan emping itu kepada tetangganya untuk diolah menjadi emping. Entah bagaimana perhitungannya aku tidak pernah tanya. Yang pasti, jajanan emping goreng yang renyah dan berasa khas itu selalu ada di meja tamu. Apalagi kalau pas lebaran. Makanan yang wajib ada bila kami keliling ke tetangga adalah, emping, madu mongso dan wajik. Kadang2 ada jadah (di jakarta namanya uli) atau jenang (dodol).

Emping dulu bagiku adalah makanan yang harganya mahal. Kami jarang beli. Selain mahal, juga karena nenekku sering membawakan emping sebagai oleh-oleh.

"Emping sekilonya berapa?" tanyaku.

"Dua puluh ribu," jawab penjualnya.

"Boleh deh, setengah kilo aja."

Aku segera memilih emping untuk ditimbang. Baru kusadari emping itu sangat ringan. Setengah kilo dapat banyak sekali, hampir setengah tas kresek.

Emping selalu mengingatkanku pada sebuah desa yang asri. Seorang perempuan tua yang tetap semangat mengelola penggilingan padi. Yang selalu tersenyum cerah saat kami -cucunya- datang menjenguknya.

Emping selalu mengingatkanku pada sebuah rumah yang berhalaman amat luas. halaman yang dipenuhi oleh pohon buah-buahan. Ada buah mangga, jambu bangkok, jeruk bali dan lain-lain.

Emping selalu mengingatkanku pada sebuah rumah yang menyatu dengan kandang. Dimana ayam, itik, angsa, kambing dan bahkan sapi bebas berkeliaran.

mengingatkan aku pada dinginnya air sungai yang dialirkan ke rumah-rumah warga memakai sebatang bambu. Mengingatkanku pada sebuah dapur berkayu bakar. Mengingatkanku pada sepasang sorot mata penuh cinta. Mengingatkanku pada banyak hal... Mengingatkan aku tentang siapa diriku, dari mana aku dilahirkan...

Mengingatkan aku pada sebuah kerinduan yang tak akan pernah hilang. Kerinduan pada orang-orang tercinta yang kini telah pergi selamanya...yang membawaku pada....... muara air mata cinta..........

Tidak ada komentar: