Jumat, 13 Maret 2009

Hidup dan Sebuah Noktah

Seringkali kita memaknai segala sesuatu yang tak kita inginkan, yang menghampiri rentang hidup kita, yang membuat dada sesak, hati tak enak, sebagai musibah. Sebaliknya kita sering memaknai segala sesuatu yang menyenangkan, membahagiakan hidup kita, sebagai anugerah.

Di saat kita sempit kita merasa Allah sedang menguji kita.
Di saat lapang kita merasa Allah sedang menyayangi kita.

Benarkah? Betulkah demikian?

Banyak kejadian tak menyenangkan telah kita rasakan. Datang tak diundang. Tinggalkan luka dan kesedihan. Kepergian orang-orang tercinta, kehilangan yang begitu dalam. Kucoba untuk merenung dan sedikit menengok ke belakang. Setiap ketidak-enakan itu datang menghampiri, maka yang pertama kurasakan adalah : pengingkaran, penolakan, tak percaya (fase pertama).

Lalu kesedihan yang mendalam, kemarahan, nyeri yang menghuni ulu hati, rasa lemas, lemah lunglai, tak berdaya (fase kedua).

Lalu perlahan mulai bisa menerima semua kejadian yang tak menyenakkan itu. Memahami bahwa semua sudah digariskan. Semua memang harus terjadi, dan siap tak siap kita akan mengalaminya (fase ketiga).

Dan yang terakhir adalah kita akhirnya bisa mengambil hikmah di balik semua peristiwa yang telah kita judge sebagai "musibah". Kita ikhlas akan semua yang telah menimpa kita. Hati menjadi lapang dan semua itu justru membuat kita makin dewasa dan bijaksana. Ada rasa syukur karena akhirnya fase yang mesti kita lalui itu sudah terlewati (fase keempat).

Kurasa setiap orang akan mengalami semua fase ini, siapa pun ia. Baik ia orang sholeh maupun bukan. Tapi selalu ada bedanya. Pertanyaan itu yang akhir-akhir ini kerap menggodaku. Apa bedanya antara orang sholeh dan orang biasa dalam memahami sebuah musibah?

Orang sholeh pun akan menangis bila salah satu anggota keluarga yang dicintainya dipanggil menghadap Ilahi Robbi. Orang sholeh pun pernah bersedih dan terluka hatinya. Orang sholeh pun pernah merasa kehilangan. Jadi apa bedanya?

Lewat pemikiran yang sederhana, mungkin yang membedakan adalah 'lama waktu' fase-fase itu terlewati. Dulu aku selalu percaya bahwa "waktu" akan selalu membantu pulihkan semua luka, seberat apa pun. Waktu akan mampu mengembalikan bahagia yang terengut oleh duka dan lara. Karena, tak ada luka abadi. Tak ada duka abadi. Tak ada bahagia abadi. Karena, suka dan duka bagaikan siang dan malam yang datang silih berganti dalam hidup manusia.

Orang sholeh bila ditimpa musibah, mungkin fase pertama dan kedua hanya sesaat menghampiri. Lalu segera beralih ke fase ketiga dan keempat.

Sementara orang biasa cenderung berlama-lama terdiam pada fase pertama dan kedua. Tak juga beranjak ke fase ketiga dan keempat.

Hm.. itu adalah sebuah pemikiranku yang sederhana. Mungkin benar, mungkin tidak....
Aku, hanyalah orang biasa.... tapi aku tak ingin berlama-lama di fase pertama dan kedua...
Meski aku tahu bahwa kadang-kadang menangis itu tidak salah, bila hati kita memang sedang benar-benar merasa sedih dan kehilangan...

Kesedihan memang serasa membuat langkah kita berhenti sejenak, tapi hanya sejenak. Dan kita harus segera melangkah lagi.. meneruskan perjalanan yang belum usai....

Hidup laksana kita membuat garis lurus yang tak terputus...
Agar garis itu tetap lurus, kita harus hati-hati memegang pensilnya, hati-hati menahan kertasnya, hati-hati menarik garisnya.... (aduh, repot banget ya?)
Garis itu terdiri dari noktah-noktah... setiap hari yang kita lewati, adalah sebuah noktah yang akan membuat garis itu menjadi semakin panjang dan mendekati tepi akhir kertas.....
saat kita tak bisa menggaris lagi
saat kita tak bisa menambah noktah lagi
saat kertas itu telah penuh terisi
adalah waktu kita untuk kembali
dan menyerahkan kertas itu ke Ilahi Robbi

Jadi, apa warna dan bentuk noktah-mu hari ini? Apakah ia berada di jalur lurus yang seharusnya? Noktahku sendiri, seperti apakah???????

Tidak ada komentar: