Jumat, 16 Mei 2008

JEJAK KECIL KEHIDUPAN

Sahabat… (seperti acara tv surat sahabat ya!)
Apa yang akan saya tulis di sini adalah sepenggal kisah hidup saya yang mungkin tak terlalu istimewa. Saya adalah seorang ibu rumah tangga dengan dua anak laki-laki. Kehidupan mengajarkan kepada saya untuk selalu mensyukuri apa-apa yang telah Allah berikan. Hal itulah yang mendorong saya untuk lebih banyak instropeksi, bersyukur sekaligus bersabar, karena setiap rentang hidup sesungguhnya adalah ujian. Hanya yang berhasil melewati ujian dengan keimananlah yang akan meraih derajat taqwa, mimpi terbesar saya selama ini….

MASA KECIL SAYA
Saya lahir di sebuah desa kecil yang tak tercantum di peta, namun –tentu saja- akan selalu tersimpan di hati saya, karena di desa itulah saya melewati masa kecil yang indah. Masa-masa yang selalu saja penuh dengan kenangan. Bapak adalah seorang petani dan ibu adalah seorang ibu rumah tangga yang membantu bapak mengelola sebuah usaha penggilingan padi.

Masa kecil saja penuh dengan kenangan bermain, sore-sore berjalan-jalan di sawah (sekedar mencari buah ‘ceplukan’ atau memetik sayur untuk dimasak keesokan harinya). Berjalan melewati pematang sawah, memandang bulir padi yang kuning keemasan atau melihat petani memanen kacang tanah dan jagung. Naik di atas genteng rumah dan memandangi matahari tenggelam adalah kegiatan sore yang tak pernah ketinggalan kami lakukan. Ah…… masa-masa itu adalah masa yang indah dalam hidup saya. Seperti kebanyakan orang tua, Bapak dan Ibu membiarkan masa kecil saya penuh dengan permainan. Karena orang tua banyak menghabiskan waktu mengurus usahanya,maka saya dan saudara-saudara saya lebih banyak di rumah bersama nenek dan pembantu. Meskipun saat itu saya masih kecil, tapi saya paham bahwa kedua orang tua saya bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan kami, lima orang anak yang waktu itu masih kecil-kecil. Meski seharian sibuk mencari nafkah, bila malam tiba, bapak dan ibu masih sempat menemani kami belajar dan membantu mengerjakan PR. Bapak juga selalu siap mengantar jemput bila saya ingin belajar kelompok di rumah teman. Tak heran, waktu kecil prestasi akademik saya boleh dibilang cukup lumayan, saat itu saya hanya berpikir ingin memberikan yang terbaik bagi orang tua.

HARI SAYA KEHILANGAN CINTA
Ternyata kebahagiaan memang tak selalu menyertai kehidupan manusia. Demikian juga dengan saya. Di bawah ini adalah hari di mana saya merasakan langit seakan runtuh, kala saya merasa begitu rapuh, saat orang-orang terkasih itu pergi dari hidup saya secara tiba-tiba. Di saat saya merasa belum siap untuk ditinggalkan.

Selasa, 4-4-1984
Hari di mana ibu yang amat saya cintai pergi untuk selama-lamanya. Sampai kini, saya masih selalu merindukannya

Kamis, 29 Sya’ban (2 hari sebelum 1 Ramadhan) 1994
Hari dimana bapak yang telah berjuang untuk kebahagiaan saya menghembuskan nafas terakhir. Saya sedih karena belum sempat membahagiakan beliau di masa hidupnya

Suatu hari di tahun1991
Hari dimana seorang nenek yang kehadirannya selalu menyertai masa kecil saya, berpulang ke haribaan-Nya

Suatu hari di tahun1994
Hari dimana akhirnya saya sadar, seorang sahabat terdekat saya tak akan pernah kembali lagi

Suatu hari di tahun 2000
Hari dimana kakek dari ayah saya meninggal dunia. Saya hanya bisa menangis sedih di sudut kamar, karena saat itu saya sedang hamil muda anak kedua. Saya tidak bisa pergi untuk menghadiri pemakamannya, sekaligus memberikan penghormatan terakhir untuk beliau. Karena jarak yang begitu jauh tak kuasa saya tempuh

Suatu hari di bulan Maret 2007
Hari dimana nenek dari ayah saya meninggal dunia. Waktu kabar itu saya terima, saya sedang di klinik. Saya langsung mencari penerbangan tercepat yang bisa saya dapat. Esoknya saya berangkat dengan anak bungsu saya, karena tinggal 2 seat yang kosong. Meskipun akhirnya saya tak dapat melihat pemakamannya, tapi saya tetap bersyukur dapat hadir dan memberi penghormatan pada sosok yang telah ikut memberi warna masa kecil saya…

PERKENALAN SAYA DENGAN ISLAM
Kesibukan orang tua atau mungkin karena faktor ketidakpahaman, membuat masa kecil saya kurang bersentuhan dengan Islam. Saya tidak menyalahkan orang tua karena hal ini. Orang tua saya meskipun pada saat itu belum paham Islam, namun telah mengajarkan kami - anak-anaknya - nilai-nilai yang Islami.

Perkenalan saya dengan kajian keislaman diawali saat kegiatan mentoring di SMA 2 Madiun. Saat itu saya masih ingat, pemberi materinya adalah ikhwan (mungkin karena belum ada akhwatnya). Saat itulah saya bersentuhan dengan kajian dan jilbab, bila kajian kami mengenakan jilbab, tapi saat biasa jilbab itu dilepas. Pun ketika kesadaran mengenakan jilbab mulai timbul di hati, mungkin karena keimanan yang begitu sedikit, bila berangkat sekolah kami memakai jilbab dan di sekolah dilepas. Masih sistem bongkar pasang karena pada saat itu jilbab belum boleh dipakai di lingkungan sekolah. Yang ngotot mengenakan jilbab dipersilakan memilih sekolah yang lain. Sebuah bahasa halus untuk mengusir jilbaber. Saat itu sekitar tahun 1990-an saya masih kelas 2 SMA. Sebagian besar dari kami memilih bertahan, karena kami ingin berjuang di SMA ini, sekolah yang cukup bonafid di Madiun. Alhamdulillah… akhirnya keluar SK yang memperkenankan pemakaian jilbab di sekolah. Saat SK itu keluar, saya sudah kuliah di Surabaya.

TETAP SEMANGAT MESKI SUDAH YATIM PIATU
Saya adalah anak yatim piatu, saya bersyukur status itu tak sampai membuat saya berkecil hati. Ibu meninggal saat saya kelas 5 SD. Bapak menyusul saat saya duduk di semester 2. Saat itu saya diterima di FKG Unair… saya masih ingat, mata bapak berkaca-kaca saat membaca pengumuman hasil UMPTN di sebuah media nasional. Bapak terisak bahagia, ada rasa bangga karena anaknya diterima di Fakultas Kedokteran Gigi… Meski Bapak tak pernah melihat saya memakai jas putih saat praktikum di klinik, meski Bapak tak pernah bisa menghadiri acara wisuda saya, pun ketika saya diambil sumpah sebagai dokter gigi… Ketika tiba hari kelulusan saya…
Mungkin dari atas sana Bapak dan juga Ibu bisa melihat kehidupan saya kini…
Tapi saya tahu…ada satu hal yang dibutuhkan kedua orang tua, doa anak yang sholehah…hanya itu yang dibutuhkan Bapak kini ….
Kini, memang hanya ada satu harapan saya, saya sungguh ingin menjadi anak yang sholehah, yang setia mendoakan kedua orang tua saya, semoga Allah berkenan mengampuni dosa-dosa kedua orang tua saya dan memberikan sebuah tempat yang layak di sisi-Nya. Amin.

SAAT-SAAT PERJUANGAN
Kuliah di kedokteran gigi, hidup di perantauan, sudah tidak ada orang tua… duh…sepertinya berat banget…dan memang, itulah yang saya rasakan. Jika bukan karena belas kasih Allah, jika bukan kesabaran dan ketegaran yang kadang meski dipaksakan…entahlah… yang pasti saya bersyukur karena pada saat itu saya dikelilingi oleh teman-teman yang mencintai dan mendukung saya. Saya bersyukur karena saat itu interaksi saya dengan Islam cukup dekat, saya melihat masih banyak teman yang keadaannya jauh lebih berat dari saya.

Dalam kondisi yang serba sulit itu, kami berlima (kakak dan adik, saudara kandung saya) saling menguatkan, saling menasehati dan saling berbagi. Dua kakak saya kuliah di PTN di kota Malang, saya di Unair Surabaya, adik saya di sebuah PTN di Malang dan adik terkecil waktu itu masih kelas 1 di SMA 2 Madiun. Bersyukur karena kami semua dapat kuliah di PTN, jadi tidak begitu banyak menelan biaya. Kuliah di PTN adalah salah satu cita-cita bapak yang mampu kami wujudkan…Saat itu saya melakukan apa saja untuk tetap bisa kuliah, saya bertekad saya harus bisa lulus, meskipun saya harus bekerja sambil kuliah… Meskipun itu berarti waktu belajar dan waktu istirahat saya harus lebih banyak berkurang…
Saya masih ingat, saat itu saya hanya berpikir, saya harus melakukan sesuatu untuk menghasilkan uang. Apa saja yang mampu saya kerjakan. Diantaranya saya berjualan kacang telor, saya menggoreng dan membungkusi sendiri, saya taruh di meja dan di sebelahnya saya taruh kaleng kecil. Tak berapa lama kacang dalam toples akan habis dan kaleng kecil itu akan terisi lembar demi lembar rupiah, dan demikian seterusnya. Saya buang jauh-jauh rasa gengsi dan malu… saya hanya berpikir bagaimana mencari rizki halal untuk tetap bertahan…

Saya juga pernah menjadi loper majalah Ummi dan Annida. Alhamdulillah, saat itu pelanggan saya cukup banyak, mereka adalah teman-teman kampus. Selain itu, profesi sebagai perancang dan penjahit baju muslim juga saya lakoni. Saya membeli kain, mendesain dan menjahit sendiri baju-baju muslim… kebetulan saat itu belum banyak saingan konveksi seperti sekarang…
Baju-baju muslim yang sudah saya jahit itu lalu saya titipkan di Bursa Kafilah, sebuah toko yang terletak di sebelah masjid kampus. Saya sadar, saya tidak punya keahlian menjual langsung ke konsumen. Biasanya dalam rentang waktu sebulan, baju-baju yang saya jahit itu sudah habis dan saya tinggal mengambil uangnya. Lalu sebagian uang itu akan saya belanjakan kain lagi di Pasar Pucang, sebagian uang saya gunakan untuk biaya hidup…demikian seterusnya waktu bergulir dalam kehidupan saya…

Oya, saat itu saya juga memberi les privat, mengajar di TPA dan aktif di SKI dan senat… saya bahkan masih sempat membentuk sebuah grup nasyid muslimah dan teater muslimah bersama dengan teman-teman dari ITS dan IKIP Surabaya… kalau saya pikir sekarang…dengan segala keterbatasan saya saat itu, baik terbatas dari segi manapun (ekonomi, fasilitas dan sebagainya), saya masih bisa lalui…hanya ada satu kekuatan yang tak henti membimbing saya, tanpa campur tangan Allah… mustahil saya bisa lalui semuanya…

Hanya sedikit teman yang tahu keadaan saya yang sesungguhnya. Di luar, saya dikenal sebagai teman yang ramai dan selalu tersenyum. Saya tak pernah bermaksud menyembunyikan kesedihan dan perjuangan saya, namun sebuah ayat yang saya baca suatu malam, saat kesedihan itu datang, cukup menguatkan langkah saya…
Saya lupa persisnya, ….berikut adalah sedikit cuplikan kata-kata yang mampu menguatkan langkah saya, yang mampu memberi energi, bila rasa lelah, penat, letih, capek, sedih dan entah apa namanya itu datang menyerang…
….yaitu orang-orang yang menjaga dirinya dari meminta-minta meskipun sebenarnya ia membutuhkan…kalimat itu saya temukan dalam Al Quran, saya lupa persisnya mana karena saya cari kembali belum ketemu.
Rizki Allah tersimpan di antara tetesan keringat kita…
Ada kemauan pasti ada jalan…
Dan sebuah puisi dari Jalaludin Rumi,
Bila engkau merasa semua jalan sudah buntu
Yakinlah Allah akan menunjukkan jalan tersembunyi
Yang belum pernah dilihat oleh siapapun…
‘jalan tersembunyi”…yap! Saya selalu percaya selalu ada jalan tersembunyi…

ALLAH MEMBERI SAYA TEMAN BERJUANG
Tahun 2006 Allah memberi saya teman berjuang. Dua belas tahun yang lalu, ketika beliau datang kepada saya, beliau adalah seorang pemuda sederhana dengan sebuah tekad dan cita-cita. Seorang lulusan D3 STAN, pegawai negeri dalam level yang masih pemula. Sementara saya adalah seorang yatim piatu dan masih berstatus mahasiswa. Bisa dibilang, kami berdua saat itu memang masih belum apa-apa. Hanya sebuah tekad, sebuah cita-cita bahwa kami berdua ingin bersinergi, bekerja bersama-sama, meniti jalan yang telah kami pilih berdua. Jalan dakwah. Jalan yang penuh dengan duri, yang menanjak dan penuh lubang di sana sini. Bukan jalan mulus yang bertabur bunga.

KEHIDUPAN SAYA KINI
Alhamdulillah, kini saya menikmati kesibukan membesarkan anak, mengantar jemput sekolah, serta mengantar les-les. Sejak awal memang suami melarang saya bekerja di luar rumah. Mungkin beliau khawatir dengan pengasuhan anak-anak kalau saya bekerja. Alhamdulillah, kini saya bisa praktek malam hari, sehingga pengasuhan anak masih tetap bisa saya tangani. Sementara kini suami ingin meneruskan pendidikannya ke jenjang S3 (semoga Allah memberikan yang terbaik –amin- karena suami memang senang sekali menuntut ilmu). Sementara saya cukup melipat cita-cita saya mengajar (menjadi dosen di FKG), dulu saya pernah bercita-cita untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang spesialis, tapi setelah mempunyai anak dan membuka praktek di dua klinik, waktu saya benar-benar sudah tak tersisa lagi. Saya tidak menyesal dengan semua itu. Hidup adalah memilih. Saya sadar. Setiap pilihan haruslah dipertimbangkan masak-masak, karena selalu ada konsekuensi di balik setiap pilihan kita. Saya tidak ingin menyesal dan mengeluh dengan apa yang sudah menjadi pilihan saya.

Satu hal yang saya akan terus belajar dan belajar adalah tawazun, seimbang, semua mendapatkan haknya. Terus terang saya sering kesulitan membagi waktu. Saya ingin ngaji berjalan lancar, pun mutaba’ah harian bisa semua terlaksanakan, anak-anak terjamin, memastikan mereka hari itu makan makanan bergizi, bersekolah dan les dengan baik, pr dan tugas tak ada yang terlupakan, rumah selalu bersih dan rapi, klinik berjalan lancar, saya bisa membaca buku atau menyelesaikan tulisan di komputer (saya punya obsesi menerbitkan sebuah buku –kini masih dalam proses, mohon doanya ya-, kini ada satu cerpen saya yang akhirnya dimuat sebuah majalah wanita, Alhamdulillah). Kenyataannya saya masih sering terteter, memang harus ada beberapa hal harus didelegasikan, namun kalau ‘sang delegator’ berhalangan, mau tidak mau, saya harus siap meng-handle semuanya. Kalau sudah demikian, saya baru benar-benar bisa memaknai, ternyata ‘kewajiban kita memang jauh lebih banyak dari waktu yang kita punya’

Kini saya sedang belajar mengisi kajian ibu-ibu. Bukan karena saya merasa sudah pintar ilmu agama, saya justru nekat dan sebenarnya ada ketakutan cukup besar kala memulainya, karena saya sadar saya selalu merasa belum atau lebih tepatnya tidak pantas untuk mengisi kajian. Jadi bisa disebut ini adalah proyek nekat. Apapun hasilnya saya serahkan kepada Allah SWT. Saya hanya ingin mengajak ibu-ibu di lingkungan saya untuk lebih dekat kepada Allah SWT. Merasakan manisnya iman, merasakan indahnya ukhuwah.

Harapan saya semoga anak-anak saya menjadi orang-orang yang selalu dalam barisan dakwah. Saya juga berdoa semoga saya dan suami tetap istiqomah di jalan yang telah kami pilih, doakan semangat ini tak kan surut, hingga tangan maut menjemput!

1 komentar:

Seliara mengatakan...

Sama-sama, terima kasih sudah mampir do blog saya ini