Sabtu, 15 Mei 2010

PELABUHAN KEDUA

Ini adalah kisah sahabatku, sebut saja namanya Mandira. Ia adalah seorang janda dengan dua anak usia sekolah dasar. Setengah tahun yang lalu, ia mengikhlaskan suaminya memilih cinta kedua, yang hadir secara tiba-tiba dalam pernikahannya yang hampir berumur delapan tahun. Ia pernah menangisi perceraian yang terasa begitu menyakitkan. Dia pernah tersungkur dan tenggelam dalam air mata. Dia pernah merasakan pedihnya dikhianati. Dia... dia yang memilih bertahan dan melanjutkan hidupnya. Dia adalah wanita yang tegar dalam satu sisi, tapi rapuh dalam sisi lainnya.

Ibunya meninggal tak lama setelah sang suami menjatuhkan talak di pengadilan. Sahabatku kembali berduka. Tapi dia tidak menangis untuk kehilangan kali ini. Aku tak berani bertanya, apakah air matanya telah mengering, ataukah karena ia teramat tabah dan tegar. Dia tersenyum tipis saat orang-orang datang melayat dan mengucapkan turut berbela sungkawa. Aku tak berani mengartikan senyumnya. Apakah senyum ketegaran ataukah kepedihan. Aku bahkan tak berani terlalu lama memandang wajahnya. Tak jua berusaha mencari sisa-sisa air mata yang mungkin masih terlihat di sudut matanya. Tidak, aku tak berani melakukan semua itu. Bahkan sekedar menebak isi hatinya yang sesungguhnya. Aku hanya tahu satu hal. Kehilangan orang yang kita cintai sungguh satu peristiwa yang menyayat hati. Mungkin kita bisa sembunyi di balik senyum di bibir, tapi mata adalah jendela hati. Yang tak mudah dibohongi.

"Aku baru saja memutuskan satu hal..." dia tersenyum sambil setengah berbisik.

Mata kecilku melebar, "Apa?" hm selalu saja ingin tahu.

"Ada brondong yang sudah beberapa bulan terakhir ini coba mendekati. ia sudah mengenalkanku pada keluarganya, juga sudah mengatakan ingin menikah dan berumah tangga denganku..." ia berhenti, seulas senyum cerah menghiasi bibirnya.

"Lalu?" hm selalu saja tak sabar. "Anak-anak bagaimana?"

"Cukup dekat sih sama anak-anak. Tapi... aku bukan gadis belasan tahun lagi. Aku tidak mengutamakan fisik atau yang lainnya. Yang penting bisa menerima aku satu paket, sayang dan tidak perhitungan..."

"Maksudnya?"

"Ya .... gitu deh, mau sih antar pergi kerja.... tapi kalau beli bensin selalu minta dibayarin, pulsa minta dibeliin..... hm... ABCD.."

"Apaan ABCD....??"

"Aduuh Boo... Capek...Deh..."

"Haha... terus gimana?"

"Ya aku putusin aja..."

"Emang kamu gak cinta sama dia?"

"Enggak, aku nggak pakai perasaan... aku lebih lihat kesungguhannya, tanggung jawabnya..."

"Jadi kalau misalnya dia benar-benar tulus, sayang kamu dan anak-anak, terus dia tidak perhitungan dan tidak selalu minta dibayarin... pun bertanggung jawab, kira-kira kamu mau nikah sama dia, meski misalnya saat itu kamu tidak ada rasa cinta...??"

"Hm... ya begitulah, cinta bisa menyusul... bisa tumbuh seiring waktu..."

"Ya... itu benar. Karena kita bukan gadis lagi, bisa berpikir lebih dewasa dan bijaksana..."

"Aku hanya tak ingin jatuh pada lubang yang sama, tak ingin jatuh pada kesalahan yang sama..."

Aku sungguh salut pada sahabatku ini. Begitulah hidup... tak ada yang abadi. Seseorang yang dulu amat kita cintai dan mencintai kita, tiba-tiba bisa menjadi sosok yang asing. Cinta bisa hilang. Kasih sayang bisa melayang. Cinta bisa tumbuh, bisa juga mati... bahkan berubah jadi benci.

Tiba-tiba aku ingat suamiku... ingat anak-anak... Ya Rabb yang Maha Cinta... jagalah cinta itu agar terus tumbuh dan tumbuh di hati kami....

Bintaro, 15 Mei 2010

Tidak ada komentar: